OPINI | POLITIK
“Indonesia selama ini masih saja mengimpor beras dari negeri tetangga hingga jutaan ton setiap tahunnya. Luhut meyakini, jika proyek ini berhasil, maka Indonesia pun akan mencapai swasembada beras di masa depan,”
Oleh : Huda Reema Naayla,
AKHIR-akhir ini tengah marak kembali proses perpindahan ibukota negara yang sudah digadang-gadang sebelumnya. Euforia ini ternyata menutupi fenomena kegagalan yang pernah terjadi di masa presiden-presiden sebelumnya.
Sejatinya, fenomena kegagalan ini cenderung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan bahkan bisa menyebabkan kerusakan lingkungan berkepanjangan. Ya, Rencana Proyek Sawah di wilayah Kalimantan. Untuk kali ini, Rencana proyek Sawah ‘dibantu’ oleh negeri Cina. Dan proyek ini diadakan sebagai solusi menyediakan lumbung pangan padahal banyak program serupa sebelumnya mengalami kegagalan. Andaikan berhasil, siapa yang akan diuntungkan?
Tempo.co.id mengabarkan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritik wacana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina. “Tidak masuk akal dan pasti gagal. Gitu aja lah kalau bicara 1 juta hektar pasti gagal. Terlalu luas terus nanti yang garap siapa,” kata Andreas dihubungi Tempo pada Selasa, 23 April 2024 melalui saluran telepon.
Kompas.com dan voaindonesia.com turut melaporkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Cina bersedia untuk mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan memberikan teknologi padinya, dan akan memulai proyek ini pada Oktober 2024. Kesepakatan tersebut merupakan salah satu hasil dari Pertemuan Ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRT di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2024).
Luhut menjelaskan, setidaknya terdapat lahan seluas satu juta hektare di Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah dengan Cina secara bertahap. Pemerintah pun, katanya, juga berencana menggandeng mitra lokal setempat dalam proyek ini. Ia berharap alih teknologi dari Negeri Tirai Bambu tersebut bisa berhasil dengan baik. Pasalnya Indonesia selama ini masih saja mengimpor beras dari negeri tetangga hingga jutaan ton setiap tahunnya. Luhut meyakini, jika proyek ini berhasil, maka Indonesia pun akan mencapai swasembada beras di masa depan.
Fenomena kegagalan ini seharusnya sudah tidak terjadi lagi. Diibaratkan seperti lubang maka lubang ini sudah digali terlebih dahulu dan dilakukan percobaan. Dari percobaan itu didapatkan bahwa memang tanah di Pulau Kalimantan ini tidak bisa dan tidak mampu untuk ditanami benih padi seperti halnya di Pulau Jawa. Perlu diingat juga bahwa sebelumnya telah dibuka lahan yang luasnya lebih dari 1 juta hektar. Maka bila proyek ini kembali dipaksakan sudah bisa dipastikan kerusakan yang ditimbulkan akan melebihi kerusakan sebelumnya.
Di sisi lain, yang menjadi pertanyaan, mengapa mitigasi kegagalan membangun lumbung pangan justru tidak dilakukan, dan cenderung tidak memberi solusi untuk petani lokal? Banyak petani yang mengalami kegagalan dan meninggalkan lahan atau bahkan memilih untuk dijual. Akibatnya petani makin malas bahkan pensiun sebagai petani.
Inilah wujud sistem kapitalisme hari ini. Dalam sistem kapitalisme tidak masalah bila hutan mengalami kerusakan. Selagi meraup keuntungan maka sah-sah saja. Tidak dipermasalahkan juga bila banyak petani yang mengalami pensiun guna merekrut ‘anak muda’ agar mau membantu proyek ini. Tidak dipermasalahkan juga bila kita menjalin kerja sama yang jelas jelas akan merugikan negeri ini dalam bentuk utang dan jeratan riba. Tapi ini adalah suatu keanehan dan ketidakwajaran dalam sistem Islam.
Bila sistem kapitalisme hadir guna merusak, maka sistem Islam hadir guna menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah umat/masyarakat. Bila dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai regulator maka Islam berperan sebagai pelayan umat.
Islam menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah, dan tidak sekedar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan. Negara bertanggung jawab penuh membantu petani, apalagi pertanian adalah persoalan strategis. Dan jika akan menjalin Kerja sama dengan asing maka politik luar negeri Daulah dijadikan sebagai pedoman. Negara tidak akan tergantung pada modal swasta atau asing. [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok