“Dimunculkan proyek baru “perang melawan radikalisme”. Perang ini jauh lebih luas obyek dan sasarannya ketimbang “perang melawan terorisme”. Pasalnya, “perang melawan radikalisme” menyasar siapapun—tentu kaum Muslim—yang anti Barat secara pemikiran maupun politik,”
Oleh : Yanti Sumayyah, S.H
JAKARTA | Lapan6Online : Radikalisme sebetulnya bukan isu baru. Isu ini muncul pertama kali seiring dengan isu terorisme. Sama-sama dimunculkan oleh Barat. Tujuannya pun sama, untuk melawan Islam dan kaum muslim. Beda atas namanya saja. Dulu “war on terrorism”. Sekarang “war on radicalism”. Sasarannya tetap sama: Islam dan kaum Muslim.
Saat ini “perang melawan terorisme” (war on terrorism) sudah mulai kehilangan daya tariknya. Sudah mulai tak laku untuk dijual.
Pasalnya, umat Islam dan dunia sudah banyak yang sadar, bahwa perang tersebut hanya dalih untuk memerangi Islam dan kaum Muslim. Bukan benar-benar ditujukan untuk menumpas terorisme.
Faktanya, pelaku terorisme di dunia kebanyakan bukan Muslim. Anehnya, yang tertuduh dan selalu jadi tersangka adalah Muslim. Bahkan sering yang menjadi korban dari pelaku tindak terorisme adalah kaum Muslim itu sendiri.
Di sisi lain, “perang melawan terorisme” tidak ditujukan pada pelaku negara. Padahal faktanya, terorisme negara lebih banyak memakan korban.
Itulah terorisme yang dilakukan oleh AS dan sekutunya saat menyerang Afganistan dan Irak, misalnya. Juga terorisme Israel atas bangsa Palestina yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Karena itulah, sepertinya perlu ada isu baru, sekaligus dalih baru, untuk memerangi Islam dan kaum Muslim.
Dimunculkanlah isu radikalisme. Berikutnya, dimunculkan proyek baru “perang melawan radikalisme”. Perang ini jauh lebih luas obyek dan sasarannya ketimbang “perang melawan terorisme”. Pasalnya, “perang melawan radikalisme” menyasar siapapun—tentu kaum Muslim—yang anti Barat secara pemikiran maupun politik, yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Sebenarnya, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal artinya berpikir hingga ke akar-akarnya.
Hal ini yang kemudian besar kemungkinan akan menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21).
Menurut The Concise Oxfort Dictionary (1987), radikal berarti akar, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan istilah radical, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reachine or through (berhubungan atau yang mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir dan bertindak”. Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial.
Berdasarkan konotasi yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal dengan istilah radikal bebas. Adapun istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. Th.1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional.
Dalam hal ini, kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekular, saintifik maupun keagamaan.
Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif.
Namun, kini istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll. Semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan.
Pasalnya, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Penggunaan istilah “Islam radikal” sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat. Wajar jika ada kesimpulan di masyarakat bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam.
Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. Istilah radikalisme adalah buatan Barat untuk menghancurkan dan mengkooptasi umat Islam.
Barat sadar betul bahwa Islam adalah ancaman bagi dia. Hal itu karena kedengkian Barat atas Islam dan umatnya dengan sistem Khilafahnya pada masa silam telah mengalahkan hegemoni Barat atas Dunia Islam. Karena itu mereka dengan sekuat tenaga dan kemampuan akan menghalangi tegaknya Islam pada masa mendatang.
Kata ‘radikal’ kini sering terdengar untuk memojokkan kaum Muslim yang semakin dekat dengan agamanya. Anehnya, kata tersebut merupakan monsterisasi terhadap karakter seorang Muslim taat dan ajaran Islam itu sendiri.
Orang yang mendambakan penerapan syariah secara kaffah dicap radikal. Orang yang menggunakan standar agama untuk bertindak, misalnya memilih pemimpin yang Muslim, dikatakan radikal.
Orang yang mengharamkan Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim dikatakan radikal. Bukankah itu monsterisasi? Sebab, sebenarnya kata radikal itu bermakna netral. Tidak berkonotasi negatif maupun positif. Bahkan kalau mau jujur, yang menuding kaum Muslim taat sebagai radikal, mereka itu layak sekuler radikal atau kafir radikal. Maka, tak salah jika radikalisme itu kini menjadi alat propaganda.
Pasca program global war on terrorism (GWOT) yang diarahkan kepada Muslim, Barat yang dipimpin Amerika Serikat menukik lebih dalam lagi dengan program global war on radicalism (GWOR). Sasarannya tetap sama yakni Muslim.
Rupanya mereka belum puas dengan propaganda terorisme karena hanya menyasar sebagian kecil umat Islam. Dengan propaganda radikalisme, mereka bisa menjangkau kaum Muslim lebih luas. Gerakan global ini kian mendapat tempat ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump.
Tidak seperti pendahulunya, Trump lebih nyata lagi permusuhannya kepada Muslim dan ajaran Islam. Bahkan sekarang ia telah berhasil menggalang kekuatan internasional khususnya di dunia Islam untuk melawan radikalisme. Amerika tidak berjalan sendiri tapi menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang memimpin gerakan global dunia Islam tersebut.
Dan untuk menunjukkan keseriusannya kepada ‘tuannya’, Saudi telah memecat ribuan imam masjid di kerajaan tersebut. Para imam masjid itu dituding memiliki paham radikal dan sebagai provokator. Padahal mereka itu adalah imam-imam masjid yang diangkat oleh pemerintah sebelumnya. Dan umat pun tahu sejauh mana imam-imam itu menyampaikan ceramahnya, paling hanya seputar ibadah mahdhah.
Segitunya dianggap radikal. Rupanya propaganda ini telah menjadi program internasional. Jangan heran kalau hal itu masuk ke Indonesia. Perppu Ormas lahir.
Kementerian Agama tak lama lagi akan membuat standar penceramah di masjid.
Pengajian dibubarkan, dan banyak lagi. Propaganda radikalisme akhirnya berubah menjadi alat gebuk yang efektif. Pola penerapannya mirip sekali dengan propaganda terorisme.
Dengan propaganda tersebut, harapannya umat Islam menjauhi agamanya dan bisa lebih toleran dengan Barat. Bisa menerima pemimpin kafir, dan membuang jauh aturan-aturan Islam dalam urusan di luar ibadah. Anehnya, gerakan ini digerakkan oleh orang yang katanya pintar, punya gelar akademik, dan terpandang dari sisi keilmuan, serta menyandang gelar keulamaan.
Mereka larut dalam arus yang dialirkan oleh musuh-musuh Islam, baik sadar atau tidak. Maka, waspadalah! Ingat, standar hidup Muslim sangat jelas, Alquran dan Sunnah, bukan yang lain. Dan inilah yang akan Allah pertanyakan di akhirat kelak.
Terus cari keridhaan Allah. Itulah jalan yang akan membawa keselamatan, biarpun orang bilang itu radikal.
Rame-Rame Menyerang Islam
Bertepatan dengan peringatan sumpah pemuda ke-89 pemerintah menggelegar kuliah Akbar Aksi kebangsaan perguruan tinggi melawan radikalisme.
Acara yang diinisiasi oleh kementerian riset dan oendidikanm tinggi ini berlangsung secara serentak di kota-kota di seluruh indonesia. Tampil sebagai pembicara dalam aksi itu adalah para menteri rezim jokowi widodo.
Acara ini merupakan kelanjutan dari pertemuan rektor seluruh indonesia yang berlangsung di bali 25-26 september lalu yang diselenggarakan oleh kementerian agama dan kemenristekdikti.
Di akhir acara, mahasiswa didaulat untuk menyampaikan deklarasi. Isi deklarasi itu ada lima poin. Pertama, satu ideologi yakni pancasila. Kedua, satu landasan yakni UUD 1945. Ketiga, satu negara yakni negara kesatuan republik indonesia.
Keempat, satu semboyan yakni tunggal ika. Kelima, satu tekad yakni melawan radikalisme dan intoleransi.
Dari deklarasi itu, empat poin pertama, adalah empat pilar kebangsaan-sebenarnya sudah dicabut oleh MK dan tidak boleh disosialisasikan- dan ditambah satu lagi isu melawan radikalisme dan intoleransi. Menariknya, terorisme tak lagi dimasukkan dalam poin tersebut.
Versi Pemerintah
Ke mana arah deklarasi itu? Itu terjawab oleh panitia pengarah pertemuan pimpinan perguruan tinggi se-indonesia muhamad shirozi. Rektor uin raden patah pelembang itu menyebut kuliah akbar aksi kebangsaan itu dimaksudkan untuk merevitalisasi kembali nilai-nila dan semangat sumpah pemuda agar dapat kembali teraktualisasikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara serta modal bersama mewujudkan indonesia yang aman, adil makmur dan sejahtera khususnya kepada mahasiswa khususnya kepada mahasiswa , serta tidak memiliki kaitan keagamaan.
Pernyataan terakhir shirozi menjadi penting ke arah mana perguruan tinggi akan dibawa.
Ini sejalan dengan arahan presiden jokowi saat seminar para rektor digelar. Jokowi menyebut bahwa ancaman negara bukanlah komunis, melainkan radikalisme dan paham garis keras. “jangan sampai kampus-kampus menjadi lahan penyebar idiologi anti-pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” kata jokowi.
Kapolri Jend (Pol) M Tito Karnavian menyebut. Tujuan dari radikalisme selalu ingin melemahkan keberadaan pemerintah guna mengambil keuntungan politik dengan ancama kekerasan. Tujuannnya, mendelegitimasi pemerintah, dengan ancaman kekerasan. Itulah tujuan mendelegitamasi pemerintahan sampai tidak mampu melindungi warganya, nah di mana posisi radikalisasi, pengambilalihan kekuasaan,” tambahnya.
Menurut mentri agama, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan kelompok moderat di indonesia harus lebih banyak bersuara guna menghadapi kelompok-kelompok radikal. “kalangan moderat dan perguruan tinggi harus lebih bersuara untuk menjelaskan moderasi agama itu,” kata lukman.
Sementara tokoh liberal syafi’i Maafif menyatakan radikalisme sebagai rongsokan peradaban arab yang sudah kalah, namun justru subur di indonesia. “radikalisme itu rongsokan dari peradaban arab yang sudah kalah, mengapa harus kita beli disini”. Kata syafi’i yang dikenal sering menyerang pemikiran islam.
Tertuju ke islam
Sangat nyata, gerakan melawan radikalime ini ditujukan kepada islam. Tak ada ceritanya orang kristen, kaolik, hindu, budha, atau kong huchu masuk dalam kategori ini meski ada di antara mereka yang bertindak ekstrim. Ini sama perseis dengan istilah terorisme yang hanya diperuntukkan bagi umat islam. Tak pernah ada orang kristen atau agama lainnya dikatakan terorisme meskipun sudah meledakkan bom dan membunuh puluhan orang.
Propaganda melawan radikalisme ini menurut beberapa kakangan tak bisa dilepaskan dari kekuatan politik islam yang kian tumbuh dan mengental. Itu dibuktikan dari perhelatan pemilihan gubernur DKI jakarta, meski calon non muslim disukung oleh seliruh kekuatan baik finansial, jaringan, massa, hingga birokrasi, basuki Tjahaja Purnama tumbang.
Tak hanya itu, dengan tekanan politik yang sangat kuat dari kaum muslim. Ahok akhirnya harus mendekam di penjara karena terbukti menistakan agama.
Rupanya, kalangan itu begitu menyakitkan bagi mereka. Maka, mereka harus mencari jalan bangaimana melemahkan kekuatan politik kaum islam ini dengan berbagai cara sebelum kekuatan politik itu membesar dan bisa menjegal rezim saat ini untuk berkuasa pada periode sebelumnya.
Propaganda terorisme tentu tidak cocok untuk itu. Sebab, kekuatan politik umat islam itu tidak dibangun dengan kekerasan, fakta juga menunjukkan mereka tidak menggunakan kekerasan. Mereka menyatu atas dasar keimanan-suatu yang sangat mendasar dakan beragama.
Maka mereka berusaha mematahkan keimanan itu dengan propaganda radikalisme. Mereka yang menyakini agama, misalnya larangan memilih pemimpin kafir, disebut sebagi intoleran, dengan serangan seperti ini mereka menganggap kaum muslimin melepaskan kenyakinan mereka, dan mengikuti apa maunya mereka. Bagi mereka adalah orang indonesia yang baik tidak menjadikan pertimbangan agama dalam seluruh asfek kehidupan, terlebih lagi masalah politik. Agama hanya dipakai pas ibadah saja.
Satu Dirangkul, Satu Digebuk
Barat menyadari kebangkitan Islam itu sebuah keniscayaan. Mereka berusaha menggagalkan kebangkitan tersebut, minimal memperlambat jalan menuju kebangkitan. Sejak 2003, Amerika Serikat membiayai Rand Corporation— sebuah lembaga riset kebijakan global yang berbasis di Amerika Serikat—untuk mengkaji perkembangan Islam. Salah satu hasilnya berjudul “Civil Democratic Islam”.
Dari hasil kajian itu mereka membagi umat Islam ke dalam empat kelompok yakni fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekuleris. Kelompok fundamentalis didefinisikan sebagai kalangan yang menolak demokrasi dan budaya Barat, menginginkan sebuah negara otoritarian yang menerapkan hukum Islam, serta menggunakan penemuan dan teknologi moden untuk mencapai tujuan mereka.
Inilah yang kini mereka sebut sebagai kelompok radikal.
Kelompok tradisionalis dicirikan sebagai suatu masyarakat yang konservatif, mencurigai modernitas, inovasi, dan perubahan. Kelompok modernis menginginkan dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikannya dengan zaman.
Sedangkan kelompok sekuleris dicirikan sebagai kalangan yang menginginkan dunia Islam dapat menerima pemisahan antara agama dan negara seperti yang dilakukan negara-negara demokrasi Barat, dengan membatasi agama hanya pada lingkup individu.
Lembaga think tank Amerika itu selanjutnya memperincikan langkah-langkah yang perlu diambil oleh kelompok modernis, kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis dan mendukung kaum sekuler secara selektif. Dokumen itu menunjukkan politik adu domba sebagai jalan untuk melemahkan Islam.
Empat tahun kemudian Rand Corporation mengeluarkan laporan setebal 217 halaman yang berjudul: “Building Moderate Muslim Network”.
Laporan ini berisi langkah-langkah untuk mengatasi fundamentalisme. Di dalamnya ada rekomendasi kepada pemerintah Amerika bagaimana mewujudkan ketidakseimbangan kekuatan antara Muslim radikal-fundamentalis dan Muslim moderat-liberal. Caranya dengan mendukung kalangan Muslim moderat-liberal-sekuler untuk ‘menyerang’ kalangan Muslim yang ingin menegakkan Islam secara kaffah, yang mereka sebut sebagai kalangan radikal-fundamentalis.
Siapa Muslim moderat-liberal itu? Menurut Rand Corporation cirinya: 1) Pendukung demokrasi; 2) Pejuang hak-hak manusia, kesetaraan gender dan kebebasan beragama; 3) Menghargai pluralisme; 4) Menerima sumber hukum yang bukan mazhab; dan 5) Menentang terorisme. Strategi ini memfokuskan upaya penghancuran Islam dari dalam melalui kaki tangan (antek) mereka untuk memecah belah, mengadu domba dan melakukan politik belah bambu. Tujuannya untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan umatnya dari ajaran Islam yang benar.
Targetnya membuat “ideologi Islam tercemar di mata penduduk tempat asal ideologi itu dan di mata pendukung pasifnya”. Dalam konteks ini, bisa dipahami mengapa kaum Muslim diserang habis-habisan oleh kalangan yang juga mengaku Muslim. Non Muslim, asing, dan asing bersembunyi di balik permainan.
Proyek radikalisme, yang sejatinya permusuhan terhadap Islam, akan menuai kegagalan atas izin Allah SWT. Sebabnya, proyek ini justru akan mempertebal keyakinan umat Islam atas kebenaran agamanya, dan semakin memperbesar ketidakpercayaan umat terhadap para penguasa sekular, yang anti Islam.
Jika ini yang terjadi, insya Allah, pertolongan Allah SWT akan diturunkan kepada kaum Muslim dalam waktu yang tidak akan lama lagi.
Sebagaimana prediksi Barat, tahun 2020 akan muncul khilafah baru yang akan menggantikan posisi Barat dalam memimpin dunia. [GF/RIN]