“Ada umat Islam yang merespon bersama skala Rasulullah SAW (skala Power), yaitu penuh pengampunan dan ada umat Islam yang merespon bersama skala hasil pikirannya sendiri (skala Force),”
Jakarta | Lapan6Online : Yang menarik untuk diulas, dari kasus karikatur Rasulullah SAW yang kembali ditampilkan oleh majalah satir Charlie Hebdo dan oleh beberapa orang di Perancis adalah bentuk respon dari ketersinggungan umat Islam.
Ada yang merespon ketersinggungannya dengan sangat ekstrim, keras melampaui batas, dengan memenggal kepala Samuel Paty, Guru Sejarah Perancis, karena mempertunjukkan karikatur Rasulullah SAW kepada siswanya dalam kelas tentang kebebasan berbicara; sampai yang paling lembut, seperti Universitas Al-Azhar, Mesir yang akan meluncurkan platform global yang memperkenalkan nabi umat islam, nabi penyayang dari Islam untuk kemanusiaan, Rasulullah SAW, dalam semua bahasa.
Dua contoh bentuk respon Muslim di atas mengingatkan saya dengan teori skala kesadaran yang dibuat dan diperkenalkan oleh David R. Hawkins, M.D., Ph. D., yang telah diterbitkan dalam bukunya berjudul “Power VS Force”.
Teori skala kesadaran tersebut yang dikenal dengan nama skala Hawkins adalah hasil riset yang tekun dari Hawkins terhadap tingkat kesadaran banyak tokoh dunia dari Budha, Rasulullah SAW sampai kelompok paham keagamaan.
Tingkat kesadaran tinggi masuk pada kelompok Power dengan ciri bijaksana, pencerah, pembawa menerima cinta dan pengampunan tanpa menghakimi sebagai gaya hidup, menjalankan kebaikan tanpa syarat kepada semua orang, hal-hal, dan kejadian.
Rasulullah SAW masuk dalam kelompok Power ini. Namun sebagian umatnya, masuk dalam kelompok Force, di antara cirinya: tidak bisa memaafkan diri sendiri atas kejadian masa lalu. Punya tendensi destruktif, menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar (keadaan).
Dengan kata lain, dari hasil riset Hawkins, Rasulullah SAW yang berada di skala Power berhadapan dengan sebagian umatnya, umat Islam, yang berada di skala Force. Sehingga, dengan skala Hawkins ini, kita dengan mudah dapat membacanya dalam masalah respon karikatur Rasulullah SAW yang sedang terjadi.
Ada umat Islam yang merespon bersama skala Rasulullah SAW (skala Power), yaitu penuh pengampunan dan ada umat Islam yang merespon bersama skala hasil pikirannya sendiri (skala Force), yaitu penuh dengan tendensi destruktrif bahkan bertindak tanpa belas kasih dan pengampunan.
Contoh skala Rasulullah SAW, skala Power, yang penuh pengampunan adalah ketika Rasulullah SAW dengan cinta kasihnya terus menyuapi makan dari makanan yang dikunyah mulutnya sendiri kepada orang Yahudi tua yang buta yang terus menghina dan mencaci maki dirinya.
Namun, Rasulullah SAW terus saja menyuapinya makan sampai Rasulullah SAW wafat. Sedangkan contoh skala hasil pikiran umat islam yang masuk dalam skala Force terjadi di masa Rasulullah SAW masih hidup, yaitu seperti kasus seorang sahabat yang buta yang membunuh budak perempuannya karena budak perempuannya ini terus menerus menghina, mencaci maki Rasulullah SAW, padahal oleh tuannya, sahabat yang buta ini, dia sudah dingatkan untuk tidak berbuat seperti itu.
Pada kasus sahabat buta yang membunuh budak perempuannya dan masuk skala Force ini, Rasulullah SAW tidak menyalahkannya. Karena, menurut saya, Rasulullah SAW tahu bahwa tingkat skala kesadaran di antara para sahabatnya, termasuk sahabat yang buta ini, masih di skala Force. Menurut saya, skala force adalah skala Jahiliyah.
Sifat dan perbuatan kejahiliyahan justru menjadi obyek dakwah dari misi kenabian Rasulullah SAW. Dan semua sahabat saat itu adalah para muallaf yang sedang didik dengan penuh kesabaran oleh Rasulullah SAW yang sedang bertransformasi, hijrah dari skala kejahiliyahan, Force, menuju skala Power.
Dan Rasulullah SAW mendidik para sahabat bukan hanya dengan ucapkan, tapi juga dengan keteladanannya. Para sahabat menyaksikan sendiri bagaimana keteladanan skala Power ditunjukkan Rasulullah SAW kepada penduduk Thaif yang menghina bahkan menyakitinya secara verbal maupun fisik, dan juga ketika Rasulullah SAW memberi makan orang Yahudi buta yang terus menghina dan mencaci maki dirinya atau di saat Futuh Makkah.
Akhir kalam, menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam saat ini yang masih berada di skala Rasulullah SAW, skala Power, untuk mengup-grade umat Islam yang masih berada di skala Force, skala kejahiliyahan, dengan penuh cinta kasih yang mengedepankan penegakan hukum.
Salah satu caranya dengan terus mengingatkan mereka tentang keteladanan Rasulullah SAW yang penuh cinta kasih dan pengampunan, bahkan kepada orang-orang yang terus menghina dan mencaci maki dirinya. Apalagi di momentum bulan maulid Nabi ini. Sholluu `alannabi! (*)
*Penulis Adalah Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)