OPINI
“Negara wajib membangun fasilitas pendidikan dan mencukupi sarana prasarana pendukung pendidikan di seluruh wilayah Islam, dengan kelayakan yang sama tidak boleh ada diskriminasi antara pendidikan di kota besar maupun di daerah terpencil sekalipun,”
Oleh : Nurdalena, S.Pd
Jakarta | Lapan6Online : Pelaksanaan Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terus menuai kontroversi. Federasi Serikat Guru Indonesia ( FSGI) memberikan nilai 55 untuk kebijakan pembelajaran jarak jauh ( PJJ) yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, dalam rangka menyoroti setahun kinerja Nadiem Makarim sejak dilantik menjadi mendikbud.
Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia ( FSGI) Retno Listyarti menyampaikan bahwa mereka memiliki data- data survey dan perwakilan di setiap daerah yang menyaksikan bahwa pelaksanaan PJJ tidak didukung dengan data yang komprehensif dan didasarkan pada kondisi daerah yang berbeda-beda. meskipun memiliki sisi positif yaitu mencegah menciptakan cluster baru bagi covid-19 (Kompas.com,25/10/20).
Rapor Merah PJJ
Sejak diberlakukannya kebijakan PJJ akibat covid-19, kebijakan ini terus menuai polemik. Pelaksanaan yang cenderung kurang persiapan menimbulkan berbagai masalah, bahkan telah menelan korban jiwa.
Sebut saja terbunuhnya bocah perempuan di Lebak Banten yang dianiaya kedua orang tuanya akibat emosi karena si anak dianggap tidak serius mengikuti pelajaran online, atau kasus bunuh diri akibat depresi karena beban tugas yang banyak, sebagaimana yang dialami oleh seorang pelajar MTs di Tarakan, Kalimantan Utara. Begitu juga kasus bunuh diri oleh siswi SMA di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Melihat rentetan permasalahan yang timbul, maka wajar jika FSGI memberikan nilai 55 kepada Kemendikbud. Pelaksanaan PJJ kali ini merupakan rapor merah yang harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk perbaikan dunia pendidikan kedepannya.
Menurut Dewan Pakar (FSGI) Retno Listyarti, pemberian nilai 55 (skala 0-100) untuk kebijakan PJJ yang dikeluarkan Mendikbud dikarenakan beberapa poin diantaranya :
Pertama, tugas yang menumpuk. Adanya tekanan sistem pendidikan menjadikan para guru mengejar ketertinggalan pembelajaran sesuai kurikulum, berdampak pada kejiwaan anak. Tugas yang menggunung sementara pengetahuan minim, tak pelak menjadikan banyak pelajar depresi bahkan ada yang nekat mengakhiri hidup.
Artinya ini cukup berdampak buruk pada perkembangan mental anak. Padahal seharusnya pendidikan melahirkan generasi masa depan yang bermental baja dan sehat.
Kedua, minimnya Sarana prasarana pendukung PJJ. Tidak adanya pemetaan persiapan setiap daerah menjadikan hanya 30 % saja siswa yang bisa mengikuti daring.
Permasalahan jaringan internet, tidak punya hp dan sebagainya menjadi penyebab sulitnya pelaksanaan PJJ di lapangan. Sementara bantuan kuota dari pemerintah dianggap tidak relevan dengan masalah yang ada. Kuota tanpa Hp dan jaringan internet menjadi tidak berguna sama sekali.
Ketiga, beban orang tua mendampingi anak belajar online. Tidak sedikit orang tua yang stress saat mendampingi anak mereka belajar.
Banyak ditemukan di lapangan, karena minimnya prasarana pendukung dan kurangnya bahan ajar, akhirnya para guru hanya membebankan kepada murid untuk mengerjakan soal-soal di buku mata pelajaran yang ada.
Tidak sedikit para siswa dan orang tua kesulitan memecahkan sendiri jawaban soal-soal dan tugas yang diberikan.
Sementara tidak dapat dipungkiri tidak semua orang tua memiliki pengetahuan dalam segala mata pelajaran dan tidak sedikit orang tua yang tidak berpendidikan tinggi. Maka wajar jika akhirnya banyak orang tua yang ikut stress.
Ditambah lagi beratnya beban hidup dan biaya untuk memfasilitasi kebutuhan anak belajar online, menambah tekanan mental pada orang tua, bahkan ada yang sampai tega menganiaya anak sendiri.
Semua permasalahan ini berawal karena pemerintah belum seutuhnya menjadi operator utama dalam memajukan pendidikan di negeri ini. Rakyat sebagian besar harus memfasilitasi diri mereka sendiri dalam memenuhi kebutuhan pendidikan.
Lihatlah saat berlangsungnya PJJ. Banyak sekolah yang masih terkendala jaringan internet, para siswa yang tidak memiliki gadget dan para guru yang harus berjuang mati-matian mempersiapkan bahan ajar hingga rela merogoh kocek sendiri.
Namun, program pemerintah hanya menyediakan kuota gratis yang masih jauh dari cukup dan tidak menyentuh akar permasalahan sama sekali.
Sistem pendidikan sekuler berbasis korporasi tidak berorientasi memberikan hak pendidikan seutuhnya kepada generasi. Pengamat pendidikan dari CERDAS Indra Charismiadji mengatakan jika pemerintah masih bertumpu pada kebijakan-kebijakan yang sama dari periode-periode sebelumnya.
Jika tanpa ada upaya evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistem pendidikan maka dipastikan tidak akan ada perubahan pada kualitas pendidikan dan sumber daya manusia di negeri ini. Pemerintah harus berani mengevaluasi, bukan untuk mencari siapa yang salah, namun demi perbaikan pendidikan negeri ini (CNNIndonesia,21/10/20).
Sistem kapitalisme setengah hati dalam mengurus pendidikan hari ini, dan berlakunya PJJ semakin menampakkan wajah sesungguhnya sistem kapitalisme. Bahwa segala sesuatu yang berurusan dengan kepentingan umum tetap berlaku hukum pasar bebas.
Siapa yang bisa membayar harga merekalah yang mendapat fasilitas, sementara yang tidak mampu harus rela mendapatkan fasilitas seadanya, bahkan tak dapat pun harus rela.
Selama basis pendidikan masih berlandaskan sistem kapitalis sekuler maka harapan untuk perbaikan dalam dunia pendidikan akan terus seperti jauh panggang dari api.
Sudah saatnya negeri ini berkaca dari sejarah bahwa kapitalisme tidak sedikitpun akan membawa kebaikan bagi generasi. Justru hari ini, generasi negeri ini hanya dicetak sebagai pekerja menjaga keberlangsungan industri-industri para kapitalis.
Sistem pendidikan Islam Solusi Terbaik
Islam menjamin terpenuhinya pendidikan setiap individu warga negara. Negara tidak memandang untung rugi karena kekuasaan adalah amanah bagi dirinya.
Maka, negara wajib memberikan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Negara wajib membangun fasilitas pendidikan dan mencukupi sarana prasarana pendukung pendidikan di seluruh wilayah Islam, dengan kelayakan yang sama tidak boleh ada diskriminasi antara pendidikan di kota besar maupun di daerah terpencil sekalipun.
Fasilitas gedung, bahan pembelajaran, sarana prasarana pendukung, hingga sebaran guru harus sama.
Begitupun dalam kondisi PJJ seperti saat ini, maka negara wajib menyediakan semua fasilitas pendidikan, mulai dari media belajar, seperti gadget, komputer hingga provider. Negara tidak akan dirugikan karena Islam memiliki pengelolaan keuangan yang anti krisis.
Hal ini tentu bukan khayalan belaka, kenyataan ini pernah terjadi di masa kejayaan Islam. Saat Islam masih diterapkan sebagai sistem kehidupan satu abad yang lalu.
Sebagai contoh, pada masa kepemimpinan Khalifah al-Muntashir Billah, berdiri Madrasah al-Muntashiriah di kota Baghdad. Setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Kehidupan keseharian para siswa dijamin penuh oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, bahkan pemandian (Muslimahnews.com,30/10/20).
Namun sayang, saat Islam runtuh, maka dunia pendidikan kembali suram. Jutaan orang kehilangan hak pendidikan mereka.
Mereka harus bersaing bak di alam rimba demi secercah ilmu pengetahuan. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang mengantarkan negeri ini pada kemajuan di masa mendatang.
Seharusnya pendidikan melahirkan generasi tangguh, bukan generasi rapuh dan depresi. Wallahua’lam. [GF/RIN]
*Penulis Adalah Praktisi dan Pemerhati Pendidikan