Oleh: Hariqo Wibawa Satria, Pengamat Media Sosial dari Komunikonten, (*)
Lapan6online.com : Jika permintaan pembubaran HMI disampaikan alumni HMI di forum ilmiah LIPI, ini tanda gawat. Apalagi ia bukan orang sembarangan, siapa dia?.
Gus Dur pernah menyebut namanya dalam pernyataannya yang sangat terkenal.
“Ada tiga orang yang sangat saya hormati di Indonesia, Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid, yang ketiga saya gak mau kasih tahu.” ungkap Gus Dur dalam acara “Tribute to Prof. Dr. M. Quraish Shihab” di Kampus UIN Jakarta, tahun 2009.
Ya, orang itu biasa dipanggil Cak Nur, mantan Ketua Umum PB HMI yang juga alumnus Gontor.
“HMI sebaiknya dibubarkan saja, agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat”, kata Nurcholish Madjid dalam Seminar Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa di Auditorium LIPI, Jakarta, 13 Juni 2002.
“Ternyata perkaderan HMI tidak semuanya membuahkan hasil yang baik, memang banyak kader HMI yang bersih (mister clean), tapi Koruptor juga banyak dari HMI,” lanjut Nurcholish Madjid di forum itu.
Pernyataan Nurcholish Madjid itu direspon serius Almarhum Agussalim Sitompul dengan menulis buku berjudul “44 Indikator Kemunduran HMI.”
Diantaranya 44 indikator itu: pola perkaderan dan manajemen organisasi yang ketinggalan zaman, kurang visioner, memudarnya tradisi intelektual, tidak punya gagasan atau karya untuk masyarakat, kehilangan strategi perjuangan, daya kritis menurun, kehilangan kekuatan batin.
Karena tidak serius diobati, HMI sekarang makin loyo. Di era digital, HMI tidak hadir dengan asyik di telepon genggam setiap orang. Laporan keuangan ke donator tidak ada. Website HMI juga tidak memuat artikel mencerahkan dan partisipasi publik.
Internet, media sosial, metodologi penelitian tidak digunakan HMI untuk memahami apa yang akan dan sedang terjadi. Padahal banyak alumnus HMI yang dikenal sebagai ilmuwan dan praktisi survei seperti Saiful Mujani, Marbawi A Katon, Burhanuddin Muhtadi, M. Qodary, Andrinof Chaniago, Hasan Nasbi, Djayadi Hanan, Veri M Arifuzzaman, Muslimin, Adjie Alfarabi dan banyak sekali.
Karena tidak punya kemampuan “listening skills” di media sosial, HMI lebih banyak mendengar bisikan pejabat dan konglomerat ketimbang jeritan rakyat.
HMI juga belum mampu membentuk tim media sosial untuk mengawasi kekuasaan. Anggaran Rumah Tangga HMI yang jadul tidak memungkinkan HMI memasukkan tim media sosial dalam struktur resmi organisasi.
Setiap diundang mengisi pelatihan saya meneriakkan ini, bahkan saya tulis buku khusus selama dua tahun terkait seni mengelola tim media sosial (308 halaman), namun tak kunjung direalisasikan.
Sehingga di Pengurus Besar, Badko, seluruh cabang tidak ada agenda bulanan untuk mengevaluasi pengelolaan media sosial.
Seharusnya mudah sekali bagi HMI membuat konten digital berdasarkan riset, dan menyebarkannya sesuai target, tapi itu dilupakan, ada yang memulai seperti Lapmi HMI Ciputat, Lapmi HMI Yogya namun belum maksimal karena minim dukungan.
Banyak sekali modal HMI, utamanya soal posisi sosial politik, SDM andal, alumnus, independensi. Sayang belum dimaksimalkan untuk bela negara dari oligarki, keserakahan dan bela dunia dari ketidakadilan global.
*MODAL HMI BESAR, NYALI KECIL*
HMI didirikan di ruangan kelas STI, tanpa pengeras suara, penerima tamu, tanpa spanduk, makanan ringan, tari-tarian, sambutan tokoh-tokoh, ini murni inisiatif mahasiswa. Peristiwa itu terjadi 73 tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947 oleh Lafran Pane dan kawan-kawannya.
Tujuan berdirinya: mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Panglima Besar Jenderal Sudirman bahkan mengatakan HMI itu Harapan Masyarakat Indonesia.
HMI bukan underbouwnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama atau ormas Islam manapun, bukan sayap partai.
Sejak dilahirkan, HMI bebas dimasuki semua golongan. Syarat masuk HMI hanya dua: Islam dan mahasiswa. Islamnya boleh aliran apa saja, mahasiswa boleh dari kampus manapun.
Sepanjang sejarah HMI, tidak pernah sekalipun ada perdebatan tentang latar belakang Ketua Umumnya atau pengurusnya, misalnya dia anak siapa, suku apa, dari ormas mana, islamnya sunni atau syiah.
Dinamika dan dialektikanya begitu kuat, hingga jangan heran ada kader HMI pernah menjabat lama sebagai Direktur Eksekutif Megawati Institut.
Dalam koalisi dan forum organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, kader HMI banyak dipercaya sebagai pemimpin, karena dianggap netral, independen dan tidak fanatik pada satu golongan.
Sayangnya modal besar ini dikelola oleh pengurus organisasi yang bernyali kecil, Hal ini terlihat dari minimnya kritik dan pengawasan terhadap kekuasaan baik di daerah maupun di pusat.
Dalam isu-isu strategis, para wartawan juga lebih sering meminta pendapat pengamat ketimbang Ketua Umum PB HMI yang bukan saja dianggap tidak independen, tapi sudah lupa pada masyarakat.
Proses pemilihan Ketua Umum PB HMI yang melibatkan uang telah menyandera dan membungkam mulut para petinggi HMI.
Kemampuan intelejen dan stratejik HMI yang diajarkan alumni HMI seperti oleh Almarhum Dahlan Ranuwihardjo dan Jenderal (Purn) Ahmad Tirtosudiro juga pudar.
Ini terlihat dari tidak bebasnya kongres-kongres HMI dari penyusupan. Jangankan itu, membedakan yang asli dan informasi hoaks pun kader HMI banyak tak mampu.
Kemampuan HMI baru sebatas bikin website dan media sosial tanpa ditunjang keterampilan menyampaikan penderitaan masyarakat, jeritan petani lewat akun-akun itu.
Saat organisasi-organisasi kecil sudah bertransformasi menjadi organisasi internasional dengan isu-isu ketidakadilan, lingkungan, HMI masih ribut soal siapa Ketua Umumnya yang sah.
Tak mungkin orang luar membubarkan HMI karena perannya nyata, yang paling mungkin HMI dibubarkan oleh anggotanya sendiri, dan gejala itu sudah nampak. Selamat Harlah HMI ke-73. Berobatlah ke dokter. (*)
*Penulis: Hariqo Wibawa Satria adalah Pengamat media sosial dari KOMUNIKONTEN, penulis buku Seni Mengelola Tim Media Sosial, Co Founder Global Influencer School.