OPINI
“Pemuda hari ini banyak yang tersesat dari potensi besarnya, khususnya sebagai agen perubahan. Saat ini, pemuda khususnya pemuda muslim justru terjebak dalam perang pemikiran, memiliki banyak problem yang gede banget,”
Oleh : Dina Aprilya
“BERIKAN aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” (Bung Karno).
Kata-kata Bung Karno ini berhasil menggetarkan dan membakar jiwa para pemuda Indonesia terdahulu sehingga mereka bergerak berusaha dan berjuang mengubah kondisi Indonesia yang terjajah hingga kemudian meraih kemerdekaannya.
Beginilah gambaran potensi pemuda bagi bangsa dan negara. Tidak ada yang mengingkarinya. Di antara gambaran diri seorang pemuda adalah fisik prima, tenaga kuat, semangat membara, serta daya pikir luas.
Dari total populasi dunia saat ini yang diperkirakan mencapai 7,5 miliar penduduk, 16% di antaranya atau sekitar 1,2 miliar penduduk merupakan orang muda berusia antara 15—24 tahun.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70% dari total penduduk dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2028-2030. Sungguh, ini adalah potensi yang luar biasa besar untuk menuju perubahan.
Mirisnya, pemuda hari ini banyak yang tersesat dari potensi besarnya, khususnya sebagai agen perubahan. Saat ini, pemuda khususnya pemuda muslim justru terjebak dalam perang pemikiran, memiliki banyak problem yang gede banget.
Proyek arus masif moderasi beragama makin mengukuhkan sekularisasi tersebut. Akibatnya, ajaran Islam kafah kian pudar dari benak para pemuda. Hasilnya adalah para pemuda muslim moderat yang sekuler, mengamalkan ajaran Islam sebatas ritualnya saja.
Di Indonesia, strategi pengamanan proyek Barat memanfaatkan generasi muda didesain begitu komprehensif melalui apa yang dikenal dengan program merdeka belajar dan moderasi beragama.
Targetnya adalah untuk mengukuhkan nilai-nilai kebebasan, seperti moderasi beragama, HAM, pluralisme, feminisme, dan kesetaraan gender pada diri pemuda muslim. Internalisasi nilai-nilai kebebasan ini menyempurnakan sekularisasi yang selama ini berlangsung. Dampaknya, karakter generasi makin lemah, apolitis, hedonis, fobia terhadap Islam, serta jauh dari ketaatan pada ajaran Islam.
Kita juga sering mendapati para pemuda yang hidup serba bebas. Mereka memihak perilaku bahkan menjadi pelaku penyuka sesama jenis. Giliran yang masih suka lawan jenis, mereka terlibat seks bebas, kohabitasi, friends with benefit (FWB), atau malah menjadi penganut childfree (pasangan muda yang menikah, tetapi tidak menghendaki memiliki anak meski kondisi biologisnya sehat dan normal).
Selama pola pikir dan pola jiwa generasi muda muslim rusak dan jauh dari Islam, semudah itu pula Barat dapat membajak dan mengeksploitasi mereka.
Dalam Risalah Akhir Tahun (RATU) 2022, Sabtu (31-12-2022) bertema “Peduli Generasi Pemimpin Umat”. Beberapa pembicara dalam agenda tersebut menyampaikan tentang masalah rusaknya generasi, penyebabnya hingga bagaimana cara menyelamatkan mereka.
Sebagaimana diungkapkan oleh Aktivis muslimah Ratu Erma Rachmayanti menyatakan “Tidak ada tempat satu pun yang aman bagi perlindungan anak-anak muda kita pada sistem sekuler. Sistem kehidupan yang bisa mewujudkan profil pemuda yang Allah perintahkan hanya sistem Islam”
Begitupun Dwi Hendriyanti sebagai guru yang merasakan secara langsung bagaimana kondisi anak didiknya, betapa banyaknya beban guru pada tugas administrasi hingga penerapan kurikulum yang tidak jelas karena berlandaskan pada sekularisme.
Hal senada dirasakan para pendidik di perguruan tinggi (PT) Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, M.S. menegaskan bahwa di PT mahasiswa dicetak sebagai buruh. Padahal fungsi mahasiswa (pemuda) lebih dari itu. Ia menegaskan, “Jangan bangga dengan gaji yang besar yang sifatnya individual. Karena dihadapan Allah yang akan ditanya adalah apakah berjuang untuk menegakkan agama Allah. Pemuda perlu mempersembahkan ilmu untuk agama Islam.”
Selain itu, pesantren yang notabene menjadi pusat pendidikan agama dan mencetak para ulama, kini justru banyak menjadi agen moderasi, ungkap Hj. Tingting. Menurutnya, pesantren jangan hanya mengajarkan teori, tetapi perlu mendidik santri agar bisa jadi abdi Allah yang taat pada agamanya.
Aktivis mahasiswa pun merasakan hal yang sama, Ketua Kornas Kohati Periode 2018—2020 Apri Hardiyanti S.H. juga merasakan betapa beratnya mahasiswa saat ini. Menurutnya, mereka dibebani dengan tugas kuliah, menjadi mahasiswa berwirausaha, dan menjadi duta-duta moderasi.
Beredar pula tagar #GenerasiMudaPimpinPerubahan dan #SelamatkanGenerasidenganIslam di berbagai platform media sosial sebagai pesan agar berbagai pihak memiliki kepedulian terhadap generasi, bahkan tagar ini memuncaki trending topic twitter.
Yuk mengerahkan segala potensi pemuda yang dimiliki untuk memperjuangkan agama Allah. Berjuang bersama dalam sebuah barisan teratur dalam gerakan pemuda muslim yang kuat dan menantang semua penantang Islam.
Bergabunglah dalam jemaah (kelompok) dakwah Islam yang ideologis, politis, serta melakukan dakwah pemikiran tanpa kekerasan. Generasi muda adalah penerus kepemimpinan, maka dibutuhkan generasi yang mampu mengemban amanah ini. Jadikan pemuda muslim sebagai duta Islam, bukan duta damai, duta wisata, dan duta-duta lainnya. Wallahua’lam bissawab. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah