“UU Cipta Kerja justru mengalami kemunduran dari pada UU ketenagakerjaan sebelumnya. Intinya kami tetap optimis, uji formil dan materi UU Cipta Kerja yang sedang diajukan ada harapan menang di MK”
JAKARTA, Lapan6Online : Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman membuka secara resmi sidang lanjutan Judicial Review UU Cipta Kerja. Sidang ini disatukan dari 6 pemohon Judicial Review, yakni pemohon dengan Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, dan pemohon perkara nomor 4, 6 PUU-XIX/2021.
Sidang dimulai pukul 10.00 WIB. Karena masih dalam suasana PPKM Level 4, Sidang hanya akan diselenggarakan selama 2 jam.
“Menurut Prokes, paling lama pertemuan, termasuk sidang ini (diselenggarakan) 2 jam,” terang Hakim Anwar Usman dalam Persidangan yang dikutip dari Channel Youtube Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/8/2021).
Karena terbatasanya waktu, Hakim Anwar mengatakan, Majelis hanya akan memeriksa 3 orang Ahli dari 6 Ahli yang direncanakan.
“Untuk itu, Ahli yang bisa kami dengar (keterangannya) pada sidang ini maksimal 3 orang,” Katanya.
Ahli dari pemohon yang akan didengar dipersidangan yaitu Ahli untuk perkara nomor 91 atas nama Ahli Zainal Arifin. Kemudian Ahli pemohon untuk perkara 103 yakni Ferry Anshari dan terakhir Ahli pemohon untuk perkara 105 Hernadi Affandi.
Diketahui, Pemohon perkara 103 adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dengan Tim Kuasa Hukum dari LBH KSBSI beranggotan 11 orang.
Yakni, Harris Manalu SH (Ketua), Parulian Sianturi SH, Saut Pangaribuan SH MH, Carlos Rajagukguk SH, Abdullah Sani SH, Haris Isbandi SH, Supardi SH MH, Sutrisna SH, Trisnur Priyanto SH, Tri Pamungkas SH MH dan Irwanto Bakara SH.
Merespon jalannya persidangan, Sutrisna SH anggota Tim Kuasa Hukum KSBSI mengatakan keterangan tiga orang Ahli dalam persidangan dinilainya sudah bagus karena sudah bisa mewakili aspirasi dari pemohon.
Secara khusus ia menilai keterangan Feri Anshari akademisi dan pengamat hukum tata negara yang diajukan pemohon KSBSI, keterangannya sangat baik.
“Beliau menyampaikan dari awal pembuatan sampai pengesahan UU Cipta Kerja ada kesan dipaksakan pemerintah. Dan indikasinya lebih mengutamakan pesanan investor asing. Bahkan tata cara membuat undang-undangnya tidak mengikuti aturan konstitusional dan mengabaikan UUD 1945,” kata Sutrisna, usai persidangan yang digelar daring di Lantai 3 Gedung KSBSI yang dikutip situs resmi KSBSI.org.
Sutrisna setuju, selama proses Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah, minim melibatkan partisipasi publik. Termasuk pada awal pembahasan pasal-pasal klaster ketenagakerjaan. Perwakilan serikat buruh pun minim dilibatkan.
“Pemerintah baru mengundang dialog dari perwakilan serikat buruh ketika sudah ramai melakukan aksi demo. Kalau tidak ada reaksi kritis dari aktivis buruh mungkin pemerintah tidak ada respon,” ujarnya.
Pada waktu pembahasan uji kelayakan Rancangan Undang-Undang (RUU), pemerintah terkesan langsung mengklaim peserta dialog setuju sosialisasi UU yang bakal disahkan.
Herannya, kata Sutrisna, justru setiap saran dan rekomendasi pasal yang disampaikan seperti dari KSBSI sangat minim diadopsi pemerintah. Artinya, pertemuan dialog itu sebatas formalitas saja, tidak pada subtansinya.
“Padahal kalau kami pelajari isi draft RUU Cipta Kerja secara mendalam, terdapat beberapa pasal krusial yang bisa mendegradasi hak buruh di dunia kerja,” jelasnya.
Sutrisna menerangkan salah satu alasan KSBSI melakukan JR UU Cipta Kerja karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lalu dilakukan revisi menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Artinya, Trisna menilai proses pembuatan UU Cipta yang dibuat pemerintah tidak sesuai dengan peraturan.
“Kalau membuat Omnibus Law Cipta Kerja, seharusnya pemerintah membuat sistem hukumnya dulu, supaya legalitasnya kuat. Tapi ini kan tidak ada. Sebab dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 memang tak ada agenda Omnibuslaw,” ungkapnya.
Dirinya setuju jika dibuatnya Omnibus Law untuk memangkas dan menyederhanakan perundang-undang yang tumpang tindih. Namun, apa yang diharapkan justru terbalik, bukan menghasilkan solusi, malah semakin rumit. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dinilai kualitasnya lebih bagus dari pada UU Cipta Kerja.
“UU Cipta Kerja justru mengalami kemunduran dari pada UU ketenagakerjaan sebelumnya. Intinya kami tetap optimis, uji formil dan materi UU Cipta Kerja yang sedang diajukan ada harapan menang di MK, khususnya dalam uji materiil,” tutupnya. [*/REDKBB]