“Pelemahan KPK yang yang paling ekstrim dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah dengan memangkas sejumlah kewenangan penindakan KPK khususnya pada tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK. Hal ini merupakan usaha perlindungan koruptor melalui putusan DPR dan pemerintah,”
Oleh : Kartiara Rizkina Murni
Lapan6Online : Pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. (Tribunner.21/9/2019).
Pengesahan ini dilakukan di tengah penolakan yang disampaikan oleh KPK, publik dan kalangan akademisi.
Pernyataan Revisi UU KPK memperkuat dan menyempurnakan KPK adalah pernyataan yang omong kosong dan menyesatkan.
Pelemahan KPK yang yang paling ekstrim dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah dengan memangkas sejumlah kewenangan penindakan KPK khususnya pada tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK. Hal ini merupakan usaha perlindungan koruptor melalui putusan DPR dan pemerintah.
Selain itu pengesahan ini di nilai janggal karena mengabaikan syarat formal dan moral. Serta pengesahan hanya di hadiri 80 anggota dari syarat minimal separuh +1 seluruh jumlah anggota. Revisi ini juga tidak masuk prolegnas 2019 dan mengabaikan kritik publik.
Sebenarnya hal ini bukanlah yang pertama kali di lakukan oleh meraka para elit politik yang terganggu kepentingannya karena KPK.
Mereka memang tak pernah kehabisan cara, berkali-kali mereka gagal namun kini mereka semakin berani menentang. Proses revisi undang-undang KPK kali ini cacat secara Prosedural, dan tanpa melibatkan KPK sama sekali serta mengabaikan khalayak. Namun pemerintah tetap kekeh untuk merevisi UU KPK.
Data menunjukkan sampai Juni 2019, koruptor terbanyak yang ditangani KPK adalah anggota DPR baik pusat maupun daerah yaitu dalam 255 perkara.
Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang.
Selain anggota DPR, DPRD, kepala daerah, ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II, dan III. (CNBC Indonesia 6/9/2019)
Kebijakan-kebijakan dalam sistem Demokrasi memang kebijakan yang tidak pernah pro pada rakyat. Justru revisi UU KPK ini merupakan aturan untuk melindungi para koruptor.
Bagaimanapun kerasnya usaha rakyat dan mahasiswa menolak kebijakan itu, tetap pemerintah mengesahkannya.
Jika ada yang berkata bahwa bukan sistem yang salah tapi orang-orang di dalamnya yang berbuat salah.
Maka dialah yang salah, bukankah jelas dalam sistem Demokrasi yang membuat aturan adalah manusia. Wajar jika aturannya sesuai kepentingan yang berkuasa, aturan yang berdasar pada hawa nafsu.
Sistem Demokrasi inilah yang mengizinkan pemimpin, pejabat dan elit politik untuk bermain kekuasaan. Menciptakan individu-individu yang haus dunia dan jabatan.
Maka sudah saatnya kita kembali pada sang pembuat aturan yang sebenar-benar pembuat aturan yakni Allah SWT. Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti lebih utama daripada hukum yang dibuat manusia.
Allah berfirman:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [al-Maidah/5:50].
Dengan menerapkan sistem islam kaffah dalam bingkai khilafah. Seluruh hukumnya akan berdasarkan syari’at. Barangsiapa mengagungkan syari’at dengan sebenar-benarnya, dia akan mengetahui bahwa syari’at itu dibangun berdasarkan hikmah dan demi kemashlahatan hamba di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur`an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur`an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” [al-An’am/6:114]. GF
*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Fakultas Sosiologi Semester 7