“Semua indikator makro merosot lebih jelek dibandingkan 10-15 tahun lalu. Defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, taxation dan sebagainya,”
Surabaya, Lapan6online.com : Prediksi Ekonom Senior Rizal Ramli jauh-jauh hari bahwa ekonomi Indonesia akan nyungsep kembali dipertegas. Indikasinya sudah lengkap. Terakhir laporan BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran.
Indikasi lainnya yang diungkap Rizal Ramli adalah utang yang makin membengkak. Kredit perbankan turun drastis. APBN defisit parah. Penerimaan pajak juga “memble”. Bila kemunduran ekonomi menjadi kenyataan, maka yang paling menderita adalah rakyat.
Dan situasi mundurnya ekonomi kembali dipertegas Rizal Ramli di bulan Maret 2020 ini.
Dia memperkirakan kondisi perekonomian Indonesia akan anjlok pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Hal itu tidak hanya dipicu dari dampak virus corona, akan tetapi ekonomi Indonesia sudah bermasalah karena pengaruh bubble economy.
Gelembung makro ekonomi, gagal bayar, anjloknya daya beli, kehadiran bisnis digital, dan penurunan pendapatan petani.
Indikator Makro Merosot
“Semua indikator makro merosot lebih jelek dibandingkan 10-15 tahun lalu. Defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, taxation dan sebagainya,” kata Rizal Ramli di Surabaya, seperti dilansir Sindonews.com, Minggu (8/3/2020).
Secara logika, menurut mantan Menko Ekuin era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini, saat semua indikator makro merosot, harusnya mata uang rupiah melemah. Namun hal tersebut tidak terjadi karena didopping utang pemerintah dari luar negeri yang tentunya dengan bunga lebih mahal.
“Buat menopang rupiah agak menguat sedikit. Tapi yang namanya dopping, bisa jadi dia dopping pertama menang, tapi dopping ketiga biasanya jantungnya nggak kuat. Kelojotan habis itu. Sehingga tidak bisa didopping terus menerus. Ekonomi juga seperti itu,” jelas Rizal.
Gelembung daya beli merosot tajam. Penjualan turut anjlok, sebab tahun lalu pertumbuhan kredit hanya di angka 6,02%. Jika kondisi ekonomi normal, maka angka ekonomi tumbuh 6,5% dan pertumbuhan kredit bisa mencapai 15%-18%.
Angka 6,02% tersebut hanya sepertiga dari target seharusnya. Sehingga memengaruhi daya jual dan daya beli masyarakat bawah.
“Ini hanya 6,02% atau sepertiganya. Tidak aneh di bawah uang susah sekali dan penjualan anjlok banget karena uang yang beredar sedikit karena kesedot untuk bayar utang,” kata Rizal Ramli yang juga mantan anggota tim panel ekonomi PBB itu.
Pertumbuhan Kredit Hanya 4 Persen
Lebih lanjut Rizal menguraikan setiap menteri keuangan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN), sepertiga dari dana di bank tersedot untuk membeli SUN. Karena SUN mampu menjamin defisit anggaran dan menggairahkan iklim investasi kendati bunganya dua persen lebih mahal dari deposito.
“Itulah yang terjadi hingga di bawah itu seret sekali. Tahun ini pertumbuhan kredit hitungan saya paling hanya 4% akan lebih merosot lagi,” ungkap Rizal Ramli.
Ketiga, gagal bayar kasus Jiwasraya. Itu pun hanya sebagian. Total gagal bayar menembus Rp33 triliun. Namun Rizal Ramli memperkirakan akan ada gagal bayar reksadana, dana pensiun, dan lainnya dengan nilai total Rp150 triliun atau US$100 miliar.
“Jadi ekonomi itu ibarat petinju udah goyang karena kebanyakan utang digap dengan gagal bayar ya krisis,” kata dia.
Keempat adalah gelembung digital yang mengalami koreksi evaluasi. Gelembung digital dinilai sudah terlalu besar dan kemungkinan akan mengalami koreksi sekitar 40%-50%.
Kelima, gelembung pendapatan petani. Mundurnya waktu tanam petani karena pengaruh musim kering pada September 2019 lalu, membuat mereka baru bisa memulai masa tanam pada Januari ini. Otomatis musim panen baru akan terjadi pada Mei atau Juni mendatang.
Namun saat musim panen, Rizal Ramli memprediksi Bulog bakal menolak beras dari petani. Pertama, karena krisis keuangan mengingat kerugian Bulog mencapai Rp30 triliun. Kedua, Bulog masih menyimpan stok impor 1,7 juta ton.
Kelima gelembung tersebut akan terjadi pada saat bersamaan. Sehingga kuartal kedua menjelang lebaran bisa terjadi krisis di Indonesia dan berimbas pada peta politik. Menilik sejarah perubahan politik di Indonesia selalu diawali dengan krisis ekonomi. Sebut saja pada era Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto.
“Jadi perubahan yang besar di Indonesia selalu terkait atau dimulai karena adanya krisis ekonomi. Banyak yang nggak percaya. Bisa terjadi perubahan politik di Indonesia. Bukan karena ada oposisi yang hebat tapi memang krisis itu sendiri menciptakan momentum perubahan,” kata dia.
Rontok di Angka 4 Persen
Tahun 2020 ekonomi Indonesia tanpa Corona diprediksi bakal rontok hingga ke angka 4 persen. Dengan adanya dampak dari Virus Corona prediksi perlambatan laju ekonomi malah semakin parah. Rizal Ramli bahkan menyebutkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot di angka 3%. Sinyal tersebut sudah mulai terjadi secara perlahan.
“Ini kan the beginning sebetulnya kami udah ingetin dari dua tahun yang lalu dari masalah sampai solusi. Sebetulnya kami kasih early warning system namun tak dihiraukan sehingga gelembungnya makin besar,” kata Rizal Ramli.
Gelombang Krisis Ekonomi Siap Meledak
Diketahui, ekonom senior dengan inisial “RR” ini pernah berbicara bahwa ekonomi Indonesia bagai gelembung. Mengutip situs Inilah.com disebutkan, menurut RR, teori gelembung (bubbles) menyatakan gelembung tidak didukung oleh fundamental yang kuat, tapi oleh persepsi, PR, doping dan goreng-gorengan. Gelembung akan meletus, sebagai bagian dari koreksi alamiah.
Untuk meledak, tidak perlu linggis atau kampak, hanya butuh peniti-peniti kebenaran dan fakta riel. Gelembung pecah identik dengan krisis ekonomi. Indonesia pernah pernah mengalaminya tahun 1966 dan 1998. Dampaknya sangat dahsyat. Tidak hanya menerjang aspek ekonomi tapi juga menyasar politik, sosial dan jadilah krisis multidimensi.
Bung Karno dan Pak Harto pernah merasakan dahsyatnya gelombang krisis ekonomi yang kemudian menerjang singgasana politik. Kekuasaan pun jatuh. Demikian RR.
(*/RedHuge/Lapan6online.com)