HUKUM | PERISTIWA | NUSANTARA
“Memerangi maksiat, memerangi kebathilan, melawan semua ketidakadilan itu adalah perintah Allah dan Rasulullah, tapi kita tidak disuruh membeda – bedakan pelakunya, antara yang lemah dan berkuasa, semua mesti diperlakukan sama,”
Lapan6Online | Aceh : Kordinator Front Anti Kejahatan Sosial (FAKSI) Aceh, Ronny H, mengaku heran atas perbedaan perlakuan atau sikap diskriminatif yang diduga diterapkan sebagian orang atau kelompok masyarakat serta pihak terkait lainnya yang selama ini dikenal sangat getol menyuarakan anti maksiat di Aceh.
Pasalnya tuntutan menutup tempat yang diklaim sebagai tempat terjadinya maksiat selama ini diduga tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Misalkan saja antara objek wisata pantai tempat rekreasi, dengan hotel yang diduga sebagai tempat terjadinya prostitusi online sebagaimana yang pernah terjadi selama ini.
Ronny melalui rilis resminya yang diterima redaksi Lapan6online.com, pada Jum’at (21/10/2022) malam mengatakan bahwa,” Saya merasa heran saja dan ingin mempertanyakannya, kenapa garangnya cuma pas soal pantai aja, padahal masyarakat cuma berekreasi dan juga mencari nafkah di pantai, tapi sibuk mau nutup pantai, itu hotel tempat melonte, pake mucikari lagi, koq pada diam semua? ada apa itu, apa enggak berani bersuara? apa karena hotel kuat backingannya?,” kata Ronny.
Tidak hanya itu, Ronny juga mengkritik perlakuan berbeda juga terlihat ketika ada oknum pejabat menjadi pelaku maksiat atau korupsi, jarang terdengar ada ormas atau organisasi masyarakat yang getol bersuara, apalagi melakukan aksi unjuk rasa, diduga berbeda halnya apabila orang biasa atau kaum lemah yang berbuat nista.
” Kalau pejabat yang kena, contohnya kasus mesum atau ada oknum pejabat ketangkap sabu atau maling, itu semuanya pada diam, seolah tutup mata, seolah enggak nampak meski pun di depan mata dan heboh di media, tapi kalau kaum lemah yang kena,koq kelihatannya pada garang semua bersuara, apa itu bukan diskriminasi namanya dalam memerangi maksiat, apakah itu perlakuan yang adil?” tanya aktivis HAM itu.
Ronny berharap kepada semua pihak, agar tidak diskriminatif dalam penerapan hukum syariat di Aceh, juga dalam upaya memerangi maksiat, tidak membeda – bedakan antara kaum lemah dan berkuasa.
“Memerangi maksiat, memerangi kebathilan, melawan semua ketidakadilan itu adalah perintah Allah dan Rasulullah, tapi kita tidak disuruh membeda – bedakan pelakunya, antara yang lemah dan berkuasa, semua mesti diperlakukan sama,” ungkapnya.
Dia juga mempertanyakan mengapa seolah berbeda semangat ormas melawan maksiat pada konser musik dengan hotel tempat terjadinya prostitusi online, demikian pula pejabat yang tertangkap narkoba atau maksiat.
” Koq beda hebohnya antara melawan maksiat pada konser, di pantai, dengan melawan maksiat yang terjadi di hotel, koq hotelnya tidak disuruh tutup, tapi pantai disuruh tutup, kemudian tempat maksiatnya pejabat koq enggak ada yang suruh tutup, apa bedanya itu semua? bahkan di Aceh, koruptor para maling – maling besar pun tidak kena hukum syariat, semuanya pada diam, ada apa itu” ungkap Ronny yang mengaku juga kurang sepakat konser diadakan di Aceh.
” Padahal, faktanya akhir – akhir ini, perzinahan, pelacuran, kekerasan seksual bahkan perkosaan pun kerap terjadi di tempat – tempat yang tidak pantas, bahkan terhadap anak kandung sendiri, anak di bawah umur, tapi tempat atau desanya enggak ada itu yang suruh tutup, enggak ada yang bersuara garang dan lantang, apalagi kalau pejabat yang kena, apa kalau pejabat yang bermasalah itu bukan maksiat namanya, apa tidak menyebabkan bencana?” pungkas alumni Universitas Ekasakti itu mengakhiri kritikannya. (*Rls/Red)