RUU HIP Dosa Politik PDIP

0
176
M Rizal Fadillah/Foto : Istimewa

Oleh: M. Rizal Fadillah, (*)

Lapan6online.com : RUU inisiatif Dewan ini diawali oleh usulan Fraksi PDIP dan menjadi RUU prioritas tahun 2020. RUU HIP dengan konten ideologi negara menimbulkan pro dan kontra.

Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja telah berhasil membawa RUU ke Rapat Paripurna dan mendapat ketukan palu persetujuan “kontroversial” dari Ketua Dewan Puan Maharani yang juga kader PDIP.

Sebagai pemenang Pemilu dan memiliki suara mayoritas di Parlemen, PDIP tentu memiliki pengaruh politik, apalagi Presiden pun menjadi bagian darinya.

Eksekutif dan Legislatif berkonfigurasi dalam kepentingan bersama melalui koalisi. Faktor ini membuat RUU HIP mendapat kemudahan dukungan dominan dengan 8 fraksi setuju dan 1 fraksi, yakni PKS, tidak setuju. RUU HIP ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Masalah bagi rakyat adalah kontroversi muatan RUU yang berbicara tentang ideologi Pancasila. Ada Ketetapan strategis yang tidak dimasukkan sebagai konsiderans yaitu Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Lalu pasal yang “mundur” soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Masalah rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Serta kedudukan “Ketuhanan” dan “Agama” yang terkesan dikecilkan.

Publik menyebut RUU HIP ini berbau “kiri” bahkan komunisme.

Tentu secara politik sorotan ini hakikatnya menjadi dosa politik PDIP yang mungkin dapat merugikannya, sekurangnya beberapa hal, yaitu:

Pertama, PDIP akan dianggap sebagai partai nasionalis berbasis kiri atau sekurangnya tersusupi oleh kader kader berhaluan kiri (leftist). Memproduk RUU bernarasi beda dengan sila-sila Pancasila hasil konsensus 18 Agustus 1945.

Kedua, Soekarno yang yang menjadi simbol perjuangan sekaligus tokoh bangsa, mulai mendapat sorotan atau terjadi  “bongkar bongkar borok” yang sebenarnya tak perlu. Hubungan Soekarno dengan PKI diangkat kembali. Akibatnya citra Soekarno tidak menjadi bagus.

Ketiga, penetapan hari lahir Pancasila 1 Juni 1945 digugat kembali. Diragukan keabsahannya baik secara historis maupun secara hukum ketatanegaraan. Bila rumusan 1 Juni 1945 menjadi basis pembahasan RUU maka umat Islam dapat membangkitkan kembali rumusan 22 Juni 1945 yang diakui pula oleh Soekarno.

Keempat, PDIP yang awalnya berslogan sebagai partai rakyat, dengan kemenangannya, justru terkesan menjadi partai yang semata berkhidmat pada kekuasaan. Benturan kepentingan dengan aspirasi kerakyatan, khususnya umat Islam, dalam konteks RUU HIP dapat menjadi kenyataan.

Kelima, RUU HIP dengan kontroversinya, bisa saja dengan segala upaya menjadi Undang Undang, tetapi ini akan menjadi bom waktu bagi munculnya gumpalan kekuatan yang akan mempersoalkan secara terus menerus. Bagi PDIP atau Pemerintah hal ini dapat mengganggu realisasi program strategis lain yang mungkin dinilai lebih penting dan perlu.

Oleh karenanya demi mempertahankan semangat kebersamaan dan menghindari friksi bahkan konflik akibat “otak atik” ideologi negara yang sudah final, baiknya RUU HIP ditarik kembali dan tidak menjadi agenda pembahasan.

Gagalnya RUU HIP menjadi UU adalah keselamatan bangsa.

Rakyat sudah mulai khawatir dan berbicara tentang kebangkitan PKI dan komunisme. Hal ini disebabkan oleh blunder politik dalam pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila.

RUU HIP bisa diplesetkan menjadi RUU HIV. Virus yang merusak sistem kekebalan ideologi negara.  Sekaligus sindroma dari penyakit yang berbahaya dan menular. AIDS yang menghancurkan tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karenanya pilihan itu hanya satu, yaitu tolak RUU HIP!  (*)

Penulis: Pemerhati politik dan kebangsaan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini