“Mereka datang secara damai sambil meneriakkan penentangan terhadap RUU HIP yang dianggap telah merusak ideologi bangsa,”
Oleh : Meyly Andyny
Jakarta | Lapan6Online : Di tengah pandemi yang belum juga menemui akhirnya, masyarakat dikagetkan dengan polemik politik disetujuinya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) menjadi Undang-Undang di rapat paripurna DPR pada 12 Mei 2020.
Sejumlah ormas di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), menggelar aksi demo penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan Kantor DPRD Provinsi Sumut, Jumat (3/7).
Sekitar ribuan orang yang ikut dalam aksi tersebut, sebelumnya berkumpul di Masjid Raya Al Mashun (Republika, 3/7/2020).
Seperti dilansir oleh Gatra.com (3/7/2020), massa yang datang menggunakan kendaraan bermotor. Mereka datang secara damai sambil meneriakkan penentangan terhadap RUU HIP yang dianggap telah merusak ideologi bangsa.
Mereka menyebut ada banyak pihak yang ingin mengubah haluan negara, memeras Pancasila menjadi tri sila dan eka sila.
Sejumlah ormas Islam dengan tegas menolak RUU HIP ini dan beranggapan bahwa RUU HIP berpotensi mencenderai Pancasila. Setidaknya terdapat tiga persoalan dalam RUU HIP, di antaranya (1) berpotensi memunculkan paham komunisme, (2) kontroversi pasal 7 yang berpotensi mengaburkan makna Pancasila itu sendiri.
Memeras Pancasila menjadi trisila, lalu menjadi ekasila, yaitu Gotong Royong, disinyalir dapat melumpuhkan sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan (3) RUU HIP rawan dijadikan alat gebuk penguasa.
Wajar akhirnya masyarakat melihat bahwa ada yang tidak beres dengan RUU HIP, meminta pembatalan pengesahan RUU HIP, bukan hanya sekedar ditunda. Dengan adanya RUU HIP kita lihat bahwa seolah ada upaya untuk menyingkirkan agama dari kehidupan.
Telah mengonfirmasi kebohongan jargon “Pancasila Harga Mati” karena apa yang terjadi adalah justru mereka sendiri yang hendak memeras Pancasila dan menafsirkannya sesuai dengan keinginannya sendiri.
Pembahasan RUU HIP telah memunculkan pembahasan baru, yaitu Khilafah. Diskursus tentang Khilafah telah semakin membukakan topeng penguasa yang hanya menghadirkan khilafah sebagai pihak yang dilabeli perusak negeri. Itu semua semata untuk menutupi kebobrokan mereka.
Sejatinya biang kerok permasalahan yang melanda negeri ini bukanlah disebabkan ajaran Islam Khilafah atau radikalisme, seperti yang terus dipropagandakan penguasa hari ini.
Namun biang kerok dari permasalahan yang terus menghantui adalah dasar negara ini yang sekuler dan rezim korup dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Penerapan sistem Kapitalis-Liberal juga melahirkan berbagai kebijakan menyengsarakan rakyat. Kebijakan ini diantaranya adalah revisi UU Minerba menjadi “jalan tol” perampokan kekayaan negara. Belum lagi pemalakan legal atas nama program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang mengambil paksa tiga persen gaji para pekerja.
Upaya menyejajarkan marxisme dan khilafah dalam RUU HIP adalah bentuk penistaan terhadap ajaran Islam. Karena khilafah bukanlah sebuah ideologi. Khilafah adalah sebuah bentuk negara yang lahir dari ideologi Islam.
Maka jika ada yang menganggap Khilafah adalah ancaman, sama saja dengan menganggap ideologi Islam berbahaya. Sebenarnya, narasi jahat penguasa dalam memonsterisasi khilafah telah ada dari dulu. Bagi rezim, Perppu Ormas tahun 2017 belum cukup untuk memukul habis ormas yang menyerukan khilafah.
Maka pada RUU HIP ini, mereka berusaha mensejajarkan Khilafah dengan paham komunis yang dilarang negara. Sungguh adanya perangkat hukum seperti ini, telah melengkapi kediktatoran rezim anti-Islam.
Namun, alih-alih ingin mensejajarkan Khilafah dengan paham komunis, media dan berbagai kalangan malah membicarakan definisi Khilafah dan menjadikan Khilafah sebagai diskusi mereka.
Akhirnya, semakin tergambar dalam benak umat, siapa yang sebenarnya harus dibubarkan. GF/RIN
*Penulis Adalah Mahasiswi Pendidikan Matematika FKIP UMSU
*Sumber : Radarindonesianews.com/Media Jaringan Lapan6online.com