Segera Bentuk Badan Independen Untuk Polri, Margarito Kamis : Tanpa Itu Semua, Jangan Bermimpi Ada Perubahan!

0
36
Dr.Margarito Kamis, dalam Acara KOPI Party Movement kembali mengadakan diskusi yang bertema, “Habis Sambo dan Tragedi Kemanusian Kanjuruhan Terbitlah Teddy, Quo Vadis Reformasi Total Polri?” di Dapoe Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

PERISTIWA | HUKUM | POLITIK | NUSANTARA

“Ada data dan informasi yang tidak sampai kepada Kapolri. Ada kesengajaan atau tidak ada sistem dalam polisi ini. Ini situasi yang membuktikan. Jadi, apa? Tiba hari tiba akal,”

Lapan6Online | Jakarta : KOPI Party Movement kembali mengadakan diskusi yang bertema, “Habis Sambo dan Tragedi Kemanusian Kanjuruhan Terbitlah Teddy, Quo Vadis Reformasi Total Polri?” di Dapoe Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Rabu (19/10/2022).

Menghadirkan enam tokoh nasional sebagai pembicara utama, Komjen (Purn) Susno Duadji (Mantan Kabareskrim Polri), Dr. Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara), Kamaruddin Simanjuntak (Praktisi Hukum), Laksamana Madya (Purn) Soleman B. Ponto (Mantan Kepala BAIS TNI), Dr. Sidra Tahta (Pengamat Sosial dan Kepolisian), dan Haris Azhar (Direktur Eksekutif LOKATARU).

Diskusi dibuka oleh Gigih Guntoro yang memberikan kata pengantar dan sekaligus pemantik. Selanjutnya acara dibawakan oleh Haris Rusly Moti sebagai moderator.

Dalam diskusi Kolaborasi Peduli Indonesia (KOPI) Party Movement tersebut, hampir seluruhnya berpendapat bahwa masalah kepolisian adalah sistem.

Pertama, sistem kepolisian di bawah presiden memberikan peluang menyalah-gunakan kewenangan.

Dan satu solusi untuk mengatasi hal itu adalah dengan menempatkan Polri berada di bawah satu kementerian. Agar tidak lagi memberikan multifungsi Polri.

Kedua, soal struktur belum ada perubahan. Performa polisi sampai saat ini masih sebagaimana Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ketiga, soal kultur, hedonisme, kesombongan sebagai suatu akibat. Solusinya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) agar membuat kajian untuk membenahi Polri, serta menempatkan Polri di bawah satu kementerian.

Soleman Ponto menyatakan bahwa disiplin Polri masih sama dengan militer. Sehingga, perilaku polisi bukan pelayanan melainkan fungsi militer.

“Polri tidak berubah, kata orang Aceh serupa lah tuh. Polri tetap menjadi pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil. Polisi sekarang bukan polisi Indonesia, tetap polisi militer,” terang Soleman.

KOPI Party Movement kembali mengadakan diskusi yang bertema, “Habis Sambo dan Tragedi Kemanusian Kanjuruhan Terbitlah Teddy, Quo Vadis Reformasi Total Polri?” di Dapoe Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Rabu (19/10/2022)

Bahkan, Soleman memberikan pendapat satu kerusakan sistem dalam Polri berupa perbandingan bagaimana militer menentukan seorang Panglima butuh waktu enam bulan sebelum pengangkatan, berbeda dengan kasus Teddy Minahasa yang baru diangkat tetapi sudah ditangkap karena narkoba.

“Ada data dan informasi yang tidak sampai kepada Kapolri. Ada kesengajaan atau tidak ada sistem dalam polisi ini. Ini situasi yang membuktikan. Jadi, apa? Tiba hari tiba akal,” ucap Soleman.

Soleman menekankan bahwa polisi harus mengerti perasaan semua orang dan juga sesuai dengan budaya Indonesia yang beragam.

Di sisi lain, Kamaruddin juga menyoroti pola rekrutmen, pola mental, dan pemberian gaji serta jabatan di Polri.

“Pola mental kepolisian sangat buruk, kalau tidak diberi uang dia tidak bekerja. Mentalnya mental uang,” tukas Kamaruddin.

“Itu mental kepolisian kita karena berpihak pada mafia. Rebut kepolisian dari tangan mafia. Rebut pemerintah dari mafia,” tegas Kamaruddin.

Hal tersebut pun dipertegas oleh Haris Azhar yang menyatakan bahwa ada polisi dan pejabat yang memiliki jabatan dan wewenang yang tinggi, bukan hanya soal pengamanan tambang atau perkebunan sawit, tetapi juga memiliki saham di dalamnya.

Dan dia pun menyarankan untuk dapat mengubah Polri dengan mengungkap kasus-kasus besar.

“Yang harus dilakukan Mabes Polri dan pimpinan adalah mengungkap kasus-kasus yang melibatkan pejabat-pejabat Polri atau anggota-anggota Polri. Itu yang harus dilakukan oleh Mabes {Polri. Ga usah ngurusin kasus-kasus yang cetek-cetek,” ucap Haris, tegas.

Adapun rekomendasi fundamental yang disarankan oleh Margarito Kamis dalam mereformasi Polri adalah dengan menempatkan Polri di bawah satu kementerian dan mengubah Undang-undang Kepolisan.

Serta pengaturan ulang soal koordinasi dan pengawasan bagi kepolisian. Dan bila perlu dibuat badan yang independen untuk itu. “Tanpa itu semua, jangan bermimpi ada perubahan,” tegas Margarito.

Dan persoalan kurangnya pengawasan tersebut juga dibenarkan oleh Susno Duadji sebagai mantan Kabareskrim.

“Pengawasan kurang, atau boleh tidak ada pengawasan eksternal. KPK yang personilnya tidak sampai 5000 saja ada tim pengawas, komisi Nasional. Hakim, ada komisi yudisial,” ucap Susno.

Susno Duadji juga menambahkan bahwa masyarakatlah yang mendesain Polri. Dan untuk dapat mengubah Undang-undang Kepolisan, perlunya dukungan politik dari DPR dan juga keseriusan Presiden.

Dan sebagai pembicara terakhir, Sidra Tahta menambahkan bahwa Polri seharusnya membangun kepercayaan, kemitraan, dan pelayanan terbaik. Dia mengatakan bahwa 80 persen fungsi kepolisian adalah pelayanan.

Sidra mengatakan bahwa perubahan Polri butuh dorongan dari masyarakat. Hal itu karena polisi yang dibuat pada Belanda untuk menjaga Belanda. Dan juga sistem kepolisian yang digunakan adalah sistem Eropa Kontinental.

Dan satu masalah yang krusial lainnya yang dikatakan Sidra adalah masyarakat tidak mengerti cara berkomunikasi dan mengawasi kepolisian.

Masalah yang sulit adalah kita menggunakan sistem kepolisian Eropa kontinental. Belanda membuat polisi di Indonesia mejadi kepolisian yang menjaga Belanda.
Pertama, bahwa Polri ini perlu melanjutkan reformasi total. Polri belum bisa menempatkan diri secara profesional, akuntabel.

Dan, kewenangan Polri yang luas harus segera dibatasi agar tidak terjadi kesewenangan. (*RAC/Samoe/Red)