Dia mengawali operasi CIA di Indonesia. Membantu melawan PKI.
Oleh: Hendri F. Isnaeni, (*)
Lapan6online.com : Pada suatu malam di awal tahun 1950, Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman, bertamu ke rumah seorang Amerika Serikat. Orangnya sudah agak berumur, badannya gempal, kepalanya dicukur licin, murah senyum, dan suka tertawa.
Dia tinggal sendirian di rumah besar yang agak ke dalam, di pinggir jalan raya Bogor menuju Jakarta. Dia bolak-balik Bogor-Jakarta karena pekerjaannya sebagai atase di Kedutaan Besar Amerika Serikat.
“Sesungguhnya dia wakil Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat. Namanya: Arturo Campbell,” kata Rosihan dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1. Dia menjadi agen sejak Perang Dunia II sebagai anggota OSS (Office of Strategic Service), pendahulu CIA.
Menurut Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? pada 1947, CIA dibentuk untuk mengoordinasi operasi intelijen pemerintah dan memberi informasi cepat dan jelas kepada presiden. Setelah kudeta Ceko pada 1948, Truman memberi wewenang CIA untuk melakukan operasi politik rahasia, termasuk sabotase, subversi, dan dusta bila perlu. Operasi rahasia pertama CIA adalah dukungan keuangan dan praktis kepada kelompok Kristen Demokrat Italia yang menghadapi Partai Komunis Italia yang kuat.
Tentu saja Indonesia menjadi target CIA karena terdapat Partai Komunis Indonesia yang kuat.
Dalam tulisannya di Malam Bencana 1965, I.G. Krisnadi mencatat bahwa keterlibatan Amerika Serikat pertama kali dalam melikuidasi kekuatan komunis di Indonesia ditandai dengan pemberian dana bantuan kepada pemerintahan Mohammad Hatta untuk membersihkan pengaruh komunis di dalam tubuh militer melalui Program Re-Ra (Reorganisasi-Rasionalisasi). Pemerintahan Hatta kemudian menghancurkan kekuatan komunis dalam Peristiwa Madiun pada September 1948.
“Pasca penghancuran komunis di Madiun, Amerika Serikat menempatkan seorang agen CIA pertama kalinya di ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, untuk mengasistensi para pemimpin Republik antikomunis. Namanya Arthur Campbell,” tulis Krisnadi.
Menurut Gouda dan Zaalberg, Arthur J. Campbell atau biasa dipanggil Arturo, tiba di Jakarta pada awal musim panas 1948. Resminya, dia memegang jabatan sebagai atase di Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta. Tapi, kenyataannya dia adalah agen CIA pertama yang ditempatkan pemerintahan Truman di Jawa untuk memberikan dukungan rahasia kepada kekuatan antikomunis Indonesia, yang belakangan oleh Dean Rusk, wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk urusan PBB, disebut “perang jalan belakang” melawan komunisme.
“Misinya diliputi misteri,” tulis Gouda dan Zaalberg.
Satu-satunya catatan mengenai misi Campbell ditulis oleh George McTurnan Kahin, tentara dan peneliti yang tinggal di Indonesia pada 1948-1949, yang bertemu muka dengan Campbell ketika sang agen CIA kembali mengunjungi Yogyakarta pada November 1948.
Campbell sampai ke Yogyakarta berkat teman lamanya, Merle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik, yang menengahi konflik Indonesia-Belanda.
“Cochran…mengirim teman lamanya, Arthur J. Campbell ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, dengan ditemani Sutan Sjahrir, menurut sumber resmi PKI,” tulis Gouda dan Zaalberg.
Cochran bertemu Hatta pada petang hari, 20 September 1948. Dia kemudian melaporkan kepada Washington bahwa Hatta berharap pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas dalam waktu dua minggu. Hatta menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan bantuan untuk polisi. Hal itu telah dibicarakan dengan “atase Amerika Serikat”.
“Atase yang disebut dalam telegram Cochran adalah Arturo Campbell,” tulis Rosihan.
Menurut Gouda dan Zaalberg, Campbell mungkin sudah bertemu Hatta tak lama sebelum pemberontakan Madiun terjadi. Dia bersama Hatta membahas kebutuhan Indonesia akan perlengkapan polisi dan senjata reguler yang bakal digunakan dalam perjuangan melawan komunis sebagai musuh bersama.
Campbell juga mungkin berdiskusi dengan pejabat-pejabat Indonesia mengenai kemungkinan dukungan Amerika Serikat, seperti pelatihan untuk perwira-perwira Indonesia. Namun, Indonesia belum bisa menerima bantuan senjata karena akan mengganggu hubungan Amerika Serikat dengan Belanda. Jika pasukan Indonesia menggunakan senjata Amerika Serikat bakal sangat mencolok. Belanda akan mengenalinya karena mereka juga menggunakan perlengkapan militer dan senjata buatan Amerika Serikat.
Belanda sendiri awalnya tak sadar akan aktivitas Campbell. Baru pada Maret 1949, Campbell muncul dalam dokumen Belanda berlabel “aktivitas Amerika yang tak dikehendaki”, sebagai perwira “intelijen” dalam Konsulat Jenderal Amerika Serikat, walaupun tak menyebut kunjungan Campbell berkali-kali ke Yogyakarta.
Dalam laporan Kahin disebut bahwa beberapa minggu setelah kegagalan pemberontakan PKI di Madiun, Campbell kembali ke Yogyakarta. Dia merekrut para anggota Mobiele Brigade (sekarang Brimob) dan mengurus penerbangan mereka menembus blokade Belanda untuk dilatih di Amerika Serikat.
Campbell juga membantu memberangkatkan Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto untuk pergi ke Amerika Serikat yang tiba pada Oktober 1948. Enam bulan kemudian, dalam sebuah memorandum kepada Menteri Luar Negeri Amerika, Sukanto mengungkapkan bahwa dia datang tidak hanya untuk pelatihan polisi, tapi juga meminta bantuan senjata dan alat-alat lain. Namun, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menjawab sebelum memberikan senjata akan menunggu dulu terbentuknya Republik Indonesia Serikat.
Pelatihan anggota polisi di Amerika Serikat terus berjalan, namun bantuan senjata masih butuh waktu lagi. Dan Campbell terus membantu karena bertekad memberantas komunis di Indonesia.
“Walaupun apa jelasnya tindakan CIA selama perjuangan kemerdekaan Indonesia masih menjadi bahan spekulasi,” tulis Gouda dan Zaalberg, “kontribusi CIA tidak sekadar omong dan menjadi bukti nyata perubahan posisi kebijakan Washington terhadap konflik Belanda-Indonesia.”
Sampai kapan Campbell bertugas di Indonesia? Belum jelas. Ketika Rosihan bertemu dengannya pada awal tahun 1950, Campbell bersemangat bertukar pikiran tentang situasi politik di Indonesia.
“Dia menaruh perhatian terhadap Partai Masyumi,” kata Rosihan. “Dia bilang PKI sedang menyusun kekuatan kembali setelah dipukul pemerintahan Hatta pada Peristiwa Madiun September 1948.”
Benar saja, PKI bangkit lagi bahkan sampai berhasil menempati posisi keempat dalam Pemilu pertama tahun 1955. CIA berusaha membendung PKI dengan mendukung Masyumi. Namun, Masyumi gagal menjadi pemenang Pemilu. PKI baru berakhir setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dan CIA terlibat dalam mendukung Angkatan Darat menumpas PKI hingga ke akarnya. (*)
*Dicuplik dari Historia.id, judul Asli “Agen CIA Pertama di Indonesia”