Sekolah Tatap Muka: Antara Harapan dan Minimnya Persiapan

0
108

Oleh: Sari Putri

Lapan6online.com – Sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, seluruh proses pembelajaran formal seperti sekolah di banyak negara termasuk Indonesia dilakukan dengan sistem online atau pembelajaran jarak jauh yang disingkat PJJ sebagai solusi untuk mengurangi dampak dari Covid-19. Sayangnya sistem PJJ ini tidak dapat menggantikan keefektifan sistem pembelajaran langsung atau tatap muka. Banyak kendala yang timbul di tengah-tengah penerapan sistem PJJ ini.

Seperti yang dilansir tirto.id (14/08/2020), Wakil Sekretaris Jenderal Satriwan Salim mengatakan metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang selama ini banyak mengalami kendala, khususnya secara teknis, seperti: tidak ada jaringan internet atau sinyalnya buruk, siswa dan guru tak punya gawai, jaringan listrik, hingga metode guru kunjung tak optimal karena faktor geografi dan akses ke rumah siswa yang jauh atau sulit ditempuh.

Masalah lainnya, orang tua tak bisa optimal mendampingi anak selama PJJ, penugasan bagi siswa dari guru menumpuk, tertinggalnya materi pembelajaran siswa, pengeluaran orang tua membeli kuota internet meningkat serta ada beberapa wilayah seperti Bengkulu, Kalimantan Timur dan Kabupaten Malang yang kepala sekolahnya belum merealokasikan Dana BOS untuk subsidi internet.

Dari banyaknya kendala dan masalah yang muncul dalam penerapan sistem PJJ, akhirnya baru-baru ini Kemendikbud Nadiem Makarim mengumumkan seluruh SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Tak hanya itu, untuk jenjang lain seperti SD, SMP dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan, seperti yang dilansir hits.grid.id (0 7/08/2020).

Kebijakan sistem pembelajaran tatap muka yang akan diterapkan ini pun mendapat banyak kritik dan komentar dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, jika di tengah wabah yang masih tinggi grafik penularannya ini kemudian diterapkan sistem pembelajaran yang memiliki risiko kesehatan yang tinggi.

Alih-alih mengatasi masalah sistem PJJ, malah menambah masalah baru peningkatan kasus penularan Covid-19. Kebijakan ini malah memunculkan klaster baru, mulai dari siswa, good guru, hingga pegawai sekolah dinyatakan positif Covid-19.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan Indonesia termasuk telat membuka sekolah dibanding dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara saat pandemi Covid-19. Hal itu Nadiem sampaikan merespons kritik atas kebijakannya mengizinkan pembelajaran tatap muka di sekolah yang berada di zona kuning atau risiko rendah dan hijau alias aman Covid-19 (CNN Indonesia 12/08/2020).

Sayangnya dalam permasalahan ini, pemerintah merespon dengan kebijakan yang sporadis, tidak terarah dan hanya sekadar memenuhi desakan publik serta mengejar ketertinggalannya sistem pembelajaran tanpa diiringi fakta di lapangan bahwa Indonesia masih tinggi grafik kasus penularannya dan diperlukan persiapan yang memadai agar risiko bahaya bisa diminimalisir.

Semua fakta kebijakan di atas menunjukkan lemahnya pemerintah sekuler mengatasi masalah pendidikan akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi dan tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publik yang wajib dijamin penyelenggaraannya oleh negara.

Penulis merupakan Mahasiswi Universitas Gunadarma.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini