OPINI
“Seakan tak belajar dari pengalaman, terus terulang kasus sengketa lahan membuat geram atas ketidakadilan yang dibuat penguasa saat ini. Penguasa lebih mengedepankan keuntungan semata pada pengusaha yang bermodal. Rakyat dianggap mafia jika berkutik,”
Oleh : Watik Handayani, S.Pd
LAGI-lagi masalah sengketa lahan terjadi lagi. Kali ini PT Sentul City menggusur lahan milik warga Gunung Batu Kidul, Koneng Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Head of Corporate Communication PT Sentul City, David Rizar Nugroho pun menegaskan pihaknya hanya menggusur tanah garapan milik warga pendatang yang mendirikan bangunan liar di atas tanah milik Sentul City, bukan menggusur rumah warga asli Bojong Koneng.
David pun menyebut dalam penggusuran lahan tersebut telah berkoordinasi dengan pengurus RT/RW dan telah mendapat dukungan dari desa maupun warga setempat. David menuding ada warga di luar Kampung Gunung Batu yang ikut campur melakukan penolakan terhadap penggusuran lahan dengan melakukan tindakan anarkis sampai merusak fasilitas Kantor Desa Bojong Koneng pada Sabtu, 2 Oktober 2021. Padahal, PT Sentul City katanya hingga kini belum melakukan pengukuran tapal batas di kampung itu.
Rocky Gerung merupakan salah satu warga yang lahannya dipermasalahkan. Ia pun mendapatkan somasi yang dilayangkan oleh PT Sentul pada 28 Juli dan kedua pada 6 Agustus. Padahal, Rocky menyebut rumah yang dihuninya ini telah belasan tahun dibuat layaknya hutan dengan penuh pohon. Luas tanahnya sekitar 800 meter.
Rocky Gerung pun terang-terangan menyatakan akan melawan somasi yang dilayangkan PT Sentul City kepadanya. Hal itu dilakukannya karena mengklaim ada 6.000 orang yang bernasib sama dengannya. Karena yang menjadi korban dalam masalah seperti ini tetap saja rakyat kecil yang tak punya kuasa.
Penguasa negeri ini seakan diam seribu bahasa, seakan tak peduli dengan rakyatnya. Seakan tak belajar dari pengalaman, terus terulang kasus sengketa lahan membuat geram atas ketidakadilan yang dibuat penguasa saat ini. Penguasa lebih mengedepankan keuntungan semata pada pengusaha yang bermodal. Rakyat dianggap mafia jika berkutik, jika terdiam tambah tertindas.
Di mana keadilan bangsa untuk memberikan keadilan pada rakyat jelata, yang notabene rakyat pribumi pemilik tanah walau hanya secuil? Tetap saja mereka dibuat sengsara, diberikan begitu saja pada perusahaan besar untuk bertindak semena, tak pedulikan suara rintihan rakyat. Jika dilawan dibilang anarkisme, jika diam semua asing masuk tanpa syarat. Korporasi pun bisa berbuat sesuka hati karena sudah mengantongi izin. Izin yang belum tentu benar, mungkin bisa jadi karena desakan korporasi yang mengambil keuntungan tanpa melihat imbas yang akan terjadi di masa depan.
Imbasnya, banyak anak negeri tak memiliki warisan sedikit pun untuk merasakan kemakmuran negara yang subur, karena sudah dimiliki kaum jumawa yang tak sadar atas kezaliman. Kezaliman dianggap umum di sistem kapitalis demokrasi. Kemaksiatan yang memimpin bertindak sesuka hati. Yang jujur, peduli jadi bahan bully, merana sudah rakyat pribumi lahan selalu di sengketa.
Padahal sejatinya tugas pemimpin negeri itu mengayomi rakyat, memberikan hasil bumi untuk kesejahteraan bersama. Tapi nyatanya rakyat ditelantarkan. Tak bisa dipungkiri jika rakyat geram, massa akan bertindak merusak fasilitas umum, karena fasilitas itu untuk kepentingan yang berkuasa. Tidak dapat bertindak sebagai penyampai keadilan rakyat.
Maka solusi terbaik dikembalikan pada sistem Islam. Proses dijalankan hukum Islam, berdasarkan syariah Islam. Kita pun bisa berkaca pada kisah teladan ditunjukkan oleh Umar bin Khattab, saat menjabat sebagai khalifah. Khalifah Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan, satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr bin ‘Ash. Wajah Amr pun pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduganya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Yahudi yang digusurnya. Sang Yahudi pun heran dan bertanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Maka, dibiarkanlah rumah Yahudi berdiri di dekat masjid. Walau akhirnya orang Yahudi masuk Islam dan mengikhlaskan tanahnya untuk fasilitas masjid. Karena kagumnya seorang Yahudi terhadap kepemimpinan Umar yang sangat adil tanpa membedakan kasta, tahta dan jabatan. Membuat semua umat merasakan kesejahteraan dan keadilan yang begitu istimewa. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok