OPINI
“Adapun tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk pola pikir dan pola sikap Islam pada diri generasi. Alhasil, khalifah sebagai kepala negara harus bertanggung jawab penuh untuk mengurus dan memberikan jaminan pada rakyatnya agar rakyat bisa sejahtera,”
Oleh : Halizah Hafaz Hts, S.Pd
ANGIN segar kini bertiup ke arah guru-guru honorer si pahlwan tanpa tanda jasa. Bagaimana tidak, angin segar itu ditiupkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak berencana untuk meniadakan guru honorer sebagai alasan karena guru honorer masih berperan penting dalam ekosistem pendidikan Indonesia.
Adanya guru honorer mampu memberikan solusi atas dua perkara terkait ketersediaan guru di Indonesia yakni distribusi di berbagai wilayah dan ketersediaan pengajar di beberapa bidang studi tertentu.
Secara nasional menurut Mendikdasmen, jumlah guru di Indonesia sudah cukup, tetapi masih bermasalah dalam distribusinya. Adapun tambahnya, jika ada dukungan dari sisi pendanaan yang memadai, pihaknya akan menarik lebih banyak guru honorer sebagai pengajar di bidang-bidang studi yang masih membutuhkan tenaga pendidik.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti menetapkan Bulan Guru Nasional dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada tanggal 25 November. (antaranews.com, 02/11/2024)
Sayangnya, menjelang HGN justru dunia pendidikan khususnya guru sedang tidak baik-baik saja. Karut marutnya persoalan guru sedang meningkat, dari persoalan guru yang menganiaya dan mencabuli siswa, guru yang tidak mendapatkan kesejahteraan, guru yang tidak dihargai, guru yang terbebani kebijakan administrasi, dan sebagainya. Dari sini terlihat bahwa karut marutnya persoalan guru tersebut bersifat sistemis dan bukan hanya masalah individu.
Pasalnya, penerapan sistem kapitalisme sekuler liberal telah berhasil menjauhkan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agama tidak dapat mengatur kehidupan bernegara, dan agama hanya berlaku untuk ibadah ritual di lingkungan pribadi saja. Sistem pendidikan saat ini mengambil asas sekularisme dan nilai-nilai liberalisme yang melahirkan kurikulum yang tidak sesuai dengan identitas siswa sebagai muslim. Akibatnya, lahirlah generasi berkepribadian rusak, yaitu beragama Islam, tetapi sekuler dan liberal.
Kurikulum saat ini juga tidak mampu mencerdaskan generasi, yang mengakibatkan kualitas akademik rendah. Belum lagi dalam sistem kapitalisme, guru tidak dianggap sebagai pendidik generasi penerus, tetapi hanya sebagai komponen produksi yang melakukan tindakan teknis untuk mencapai tujuan produksi.
Dunia pendidikan tidak di dasarkan pada nilai ruhiah dan justru malah fokus pada nilai materi. Tidak hanya itu, sistem ekonomi kapitalisme telah memecahkan fokus guru sebagai pendidik, karena dengan gaji yang minim dan tuntutan hidup yang ekstrem berhasil membuat para guru oleng bahkan meleng dalam mendidik siswa.
Islam Menyejahterakan Guru
Jika persoalannya sudah seperti ini, maka harusnya negara bersama stakeholdernya memberikan perubahan sistemis agar persoalan pendidikan dan guru dapat teratasi. Para pemangku jabatan sudah saatnya melakukan aksi nyata bukan sekadar wacana. Kerusakan dalam dunia pendidikan ada pada sistem yang diterapkan dalam negara tersebut. Maka, negara harus kembali pada sistem yang sesuai dengan fitrah manusia yaitu sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta (Allah Ta’ala).
Pasalnya, Islam sebagai ideologi memiliki konsep dalam mencetak guru berkualitas dan berkepribadian Islam sehingga guru mampu mendidik siswa menjadi generasi tangguh yang beriman dan bertakwa. Generasi beriman dan bertakwa tentu terwujud dari sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam. Adapun tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk pola pikir dan pola sikap Islam pada diri generasi. Alhasil, khalifah sebagai kepala negara harus bertanggung jawab penuh untuk mengurus dan memberikan jaminan pada rakyatnya agar rakyat bisa sejahtera.
Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian, seorang khalifah memahami betul seluruh perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, sehingga tidak ada rasa apatis dan abai pada urusan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk guru. Negara Islam sangat peduli dalam masalah pendidikan, mulai dari gaji pengajar dan staf, fasilitas sekolah dan biaya sekolah yang murah. Guru dengan tugas dan peran penting dalam mencetak generasi beriman dan bertakwa pastilah akan digaji fantastis oleh negara, tidak seperti di sistem kapitalis yang tidak dimuliakan.
Dengan gaji yang fantastis itu, guru tidak akan sibuk untuk bekerja sampingan dan fokus pada profesinya saja, sebab seluruh kebutuhan hidupnya telah terpenuhi dan terjamin dalam negara Islam. Menilik masa Shalahuddin Al Ayyubi yang memberikan gaji sekitar 11-40 dinar, jika dirupiahkan Rp.42-153 juta pada guru. Kemudian, tidak ada istilah guru honorer atau guru negeri dalam sistem Islam, yang ada hanya guru sebagai pegawai negara.
Selain itu, guru dalam sistem Islam akan diberikan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana sekolah agar mampu meningkatkan kualitas mengajar. Kebijakan administrasi sekolah pun tidak akan serumit sistem kapitalisme hari ini, sebab administrasi sekolah yang ditetapkan oleh negara Islam akan disesuaikan dengan asas pendidikan negara yaitu akidah Islam.
Selanjutnya, untuk ketersediaan guru tidak akan menjadi masalah dalam negara Islam, sebab negara sangat mendukung dan memfasilitasi rakyatnya untuk menjadi guru di seluruh wilayah karena begitu pentingnya sosok guru pada kehidupan di masa depan. Dengan demikian, sudah saatnya untuk kembali pada sistem Islam agar kesejahteraan guru terwujud. (**)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan