SISTEM ZONASI SEKOLAH BIKIN GADUH

0
9
Ilustrasi

OPINI | POLITIK | EDUKASI

“Sehingga ketika ada siswa miskin yang harus bersekolah di swasta yang notabene mahal, maka pada saat itu negara telah berlaku zalim karena memaksa orang yang tidak mampu, mengeluarkan biaya di luar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,”

Oleh : Dina Aprilya

DARI tahun ke tahun, PPDB kerap menuai masalah karena selalu dikotori oleh kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Zonasi menjadi salah satu yang ditemukan banyak permasalahan.

Sistem zonasi sendiri adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai wilayah tempat tinggal. Sistem ini diatur dalam Permendikbud 14/2018 dan ditujukan agar tidak ada sekolah yang dianggap sekolah favorit ataupun nonfavorit.

Sistem zonasi ditargetkan sebagai sistem seleksi PPDB secara lebih transparan dan adil, ditetapkan sesuai tempat tinggal. Kunci sistem zonasi ada pada kata “zonasi” yang artinya pemecahan area menjadi beberapa bagian.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara, Abyadi Siregar, mengatakan ada beberapa poin temuan yang menjadi permasalahan dalam sistem zonasi di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menjelaskan, awalnya Ombudsman yang menemukan kecurangan-kecurangan.

Diawali dengan dari dulu ada sekolah favorit, di sekolah favorit tersebut masyarakat mau memberikan uang 30 juta atau 40 juta agar anaknya bisa masuk. Abdiyadi mengaku pernah ditawarkan dengan bayaran 30 juta. Karena itu dimunculkan ke publik dan pemerintah merespon. Akhirnya dibuatlah semacam kebijakan dengan sistem zonasi, prestasi dan sebagainya.

Kecurangan tersebut ada ditemukan oleh Ombudsman di beberapa sekolah yaitu SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Medan. Atas laporan tersebut, kemudian pihak Ombudsman melakukan investigasi ke SMA Negeri 1 lalu ke SMA Negeri 2 (rri.co.id,11/07/23)

Kebijakan sistem zonasi pada mulanya bertujuan baik, yakni menghilangkan tensi favoritisme sekolah dan mengurangi kasta dalam dunia pendidikan. Ini karena tidak dimungkiri, adanya sekolah favorit dan sekolah “pinggiran” memang menjadi jurang, seakan ada polarisasi tersendiri antara sekolah anak pintar dan tidak pintar. Dengan kebijakan zonasi, polarisasi ini diharapkan dapat terminimalkan.

Namun, sistem pendidikan baku yang berlaku di sekolah hanya sebatas wacana. Implementasinya jauh dari apa yang telah diprogramkan. Tensi favoritisme sekolah sepertinya belum sepenuhnya hilang meski sistem zonasi sudah diterapkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Seperti apa permainan dalam sistem zonasi ini, hingga sejumlah pihak minta dievaluasi?

Sejauh ini, sistem zonasi sering mendapat kritikan karena beberapa murid malah diterima di sekolah yang memiliki jarak yang lebih jauh daripada yang terdekat dengan tempat tinggal. Artinya, efisiensi sistem zonasi patut kita pertanyakan. Ini karena keresahan mencari sekolah di musim PPDB dirasakan semua warga.

Dugaan kecurangan, migrasi KK, manipulasi KK, dan jual beli kursi, banyak dikeluhkan para orang tua siswa di beberapa daerah. Tidak heran, kebijakan zonasi pun berakses pada fenomena jual beli kursi sekolah demi dapat diterima di sekolah yang diinginkan.

Bagi para orang tua konvensional yang masih memegang teguh prinsip sekolah favorit, fenomena jual beli kursi sangat mungkin terjadi sebagai respons mereka terhadap sistem zonasi.

Tidak jarang, sejak ujian akhir sekolah di jenjang sebelumnya, mereka bahkan rela melakukan jual beli kunci jawaban soal dan nilai ujian agar nilai anaknya bagus sehingga layak diterima di sekolah favorit untuk jenjang selanjutnya.

Cara pandang masyarakat mengenai sekolah favorit dan tidak favorit ini sendiri tidak terlepas dari paradigma pendidikan sekuler kapitalistik yang mengukur segalanya dari materi. Contohnya, sekolah favorit tadi hanya untuk orang-orang pintar dan kaya, sedangkan siswa yang “tidak pintar” hanya bisa bernaung di sekolah ala kadarnya yang minim fasilitas dan sarana prasarana.

Akhirnya, kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja. Sekolah bagus dilihat dari fasilitas, tunjangan, dan sarana prasarananya. Budaya kasta dan pandangan materi inilah yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kapitalistik.

Di samping itu, memberdayakan sekolah swasta secara tidak langsung menyuburkan konsep swastanisasi (komersialisasi) lembaga pendidikan. Sekalipun pihak sekolah tidak akan memungut biaya bagi siswa miskin yang sudah dibiayai pemerintah, bagaimanapun, sekolah swasta berbeda dengan negeri.

Mengandalkan peran swasta jelas bukan solusi tuntas. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang dikelola swasta pastilah berhitung untung dan rugi. Konsekuensinya, biaya mahal. Inilah yang mengakibatkan hak pendidikan bagi semua warga terabaikan.

Imbasnya, beberapa sekolah negeri kekurangan siswa. Bahkan, ada yang menerima satu siswa saja, padahal lokasi sekolah dekat dengan pemukiman warga. Artinya, dari aspek penyediaan fasilitas sekolah, pemerintah lalai memberikan pelayanan pendidikan secara merata. Ada pula yang tidak berkenan di sekolah dekat dengan rumah lantaran fasilitas penunjang belajar dinilai minim dan kurang berkembang.

Alhasil, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di swasta meski berbiaya mahal ketimbang sekolah negeri, tetapi minim sarana dan prasarana.

Kesempatan bersekolah murah berkualitas menjadi problem klasik dunia pendidikan negeri ini. Yang dirugikan tentu saja rakyat. Sebab, mereka harus membayar mahal biaya pendidikan. Faktanya, dalam dunia pendidikan, perbedaan kasta ini sebenarnya tampak pada sarana dan prasarana pendidikan.

Bahkan, kuat disinyalir bahwa sistem zonasi ini hanya berperan untuk menutupi buruknya kualitas satu sekolah dengan sekolah lain tanpa ada upaya perbaikan kualitas sekolah yang sebelumnya masih kurang baik. Ini pun tidak ubahnya tindakan “pelarian diri” penguasa dari tanggung jawabnya menyediakan sistem pendidikan mumpuni dan berkualitas.

Bergantung pada swasta yang berorientasi profit dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme memandang pendidikan sebagai barang ekonomi, bukan layanan yang wajib dipenuhi negara. Karena itu, dalam tata kelolanya pendidikan diliberalisasi.

Berlakulah prinsip ‘yang ingin mendapatkan sekolah bagus, maka harus mau merogoh kocek lebih’. Swasta pun tidak ketinggalan memanfaatkan peluang untuk “berdagang” di dunia pendidikan. Demikianlah ketika pendidikan tidak dijalankan secara tulus sebagai wujud penjagaan generasi. Pendidikan dijadikan instrumen bisnis penguasa sehingga tercipta adagium bahwa pendidikan terbaik adalah yang berbiaya tinggi.

Pada gilirannya, ketika ada urgensi pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, dengan entengnya penguasa meluncurkan sistem zonasi yang justru berdampak tidak lebih baik dibandingkan peniadaan sistem tersebut.

Padahal pendidikan merupakan kebutuhan pokok masyarakat, maka seluruh warga sejatinya berhak mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas. Itu tidak lain karena pendidikan merupakan sarana utama pembentukan sumber daya manusia berkualitas.

Oleh sebab itu, negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pelayanan kepada seluruh warga tanpa memandang kelas ekonomi. Sehingga ketika ada siswa miskin yang harus bersekolah di swasta yang notabene mahal, maka pada saat itu negara telah berlaku zalim karena memaksa orang yang tidak mampu, mengeluarkan biaya di luar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Hal ini tentu tidak akan terjadi jika negara berperan penuh mengelola pendidikan dengan segenap potensi yang dimiliki negara. Bahkan akan mendapatkan pendidikan terbaik karena ditopang oleh sistem pendidikan Islam, kurikulum terbaik dan tata kelola terbaik. Sistem itulah yang pernah melahirkan peradaban Islam pada masa jayanya. Betapa kita merindukan sistem tersebut. Semoga kita tetap istikamah memperjuangkannya. Wallahualam bissawab. (*)

*Penulis Adalah Aktivis Muslimah Medan