Penulis: Putri Fiddina, Pelajar Madrasah Aliyah di Medan, (*)
Lapan6online.com : Huru hara Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menghiasi dunia pendidikan Indonesia tiap tahunnya. Sistem PPDB dari tahun ke tahun ke tahun dinilai banyak menuai polemik. Beberapa tahun belakangan terhitung dari tahun 2017, Kemendikbud menerapkan PPDB berbasis zonasi guna menghapus stigma sekolah favorit dan non favorit.
Namun visi penghapusan stigma tersebut tak kunjung terealisasi, dibarengi dengan pendidikan yang belum merata. Hal ini malah menyebabkan stres bagi orang tua dan murid.
Korban Sistem
Seperti yang terjadi baru-baru ini, di Matraman, seorang anak berumur 14 tahun tewas setelah
mengurung diri berhari-hari lantaran depresi. Penyebab depresinya diduga karena si anak gagal masuk SMAN pilihannya lewat jalur zonasi. Usianya yang lebih muda dibanding pendaftar lainnya membuat anak tersebut tak lolos hingga akhirnya stres dan mengurung diri.
Hal ini berdasarkan putusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB 2020/2021, apabila pendaftar di suatu sekolah dalam jalur zonasi melebihi daya tampung, seleksi akan dilakukan berdasarkan usia. Berarti pendaftar berusia yang lebih tua bakal diterima ketimbang pendaftar berusia lebih muda. Sekalipun pendaftar yang berusia muda lebih berprestasi.
Beranjak ke kasus lain, dilansir dari KOMPAS.com, Syahreza Pahlevi Ginting selaku orang tua siswa, mengatakan, anaknya terlihat ada perubahan setelah PPBD DKI 2020 jalur zonasi. Anaknya terlihat banyak diam dan merasa kecewa karena gagal masuk SMAN pilihannya.
Sistem zonasi juga menyebabkan banyak anak terpaksa putus sekolah lantaran tak masuk SMA Negeri dan tak punya biaya jika masuk SMA Swasta. Seperti yang terjadi pada Naira Callista Maheswari (15) yang terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena gagal masuk SMAN dalam PPDB DKI Jakarta 2020 melalui jalur zonasi. Orang tua Naira mengaku tak memiliki biaya jika anaknya disekolahkan di SMA Swasta.
Swastanisasi
Stigma sekolah favorit dan non favorit terjadi karena adanya pembangunan pendidikan yang tidak merata, baik dari segi kurikulum, fasilitas, maupun tenaga pendidik. Jika ditelusuri, lepasnya peran pemerintah sebagai institusi yang wajib menyelenggarakan pendidikan menjadi faktor utama ketidakmerataan pendidikan yang terjadi.
Pemerintah seolah melepaskan kewajibannya sebagai penyelenggara pendidikan, dengan memberikan tempat seluas-luasnya kepada swasta untuk menyelenggarakan pendidikan. Swastanisasi pendidikan dianggap cara terbaik untuk membantu tugas pemerintah. Prinsip untung rugi dipegang penguasa dalam menjalankan pemerintahan. Inilah alasan mengapa dana pemerintah tak pernah cukup untuk membangun banyak sekolah dengan fasilitas yang memadai.
Pemerintah pun kemudian mengambil jalan zhalim, dengan menciptakan kebijakan baru dengan menjadikan batasan usia tertentu sebagai syarat PPDB. Padahal di kebijakan sebelumnya usia tertentu diperbolehkan untuk mendaftar sekolah. Pada akhirnya para murid menjadi korban kebijakan pendidikan kapitalis-sekuler yang membingungkan dan berbeda tiap tahunnya. Maka jangan berkhayal untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan harga yang murah atau bahkan gratis dalam sistem kapitalis ini.
Sistem Islam
Ketimpangan dalam fasilitas pendidikan tidak akan kita jumpai dalam sistem Islam. Fasilitas pendidikan menurut Islam harus diberikan tanpa memandang agama ataupun harta. Baik non muslim ataupun muslim, kaya atau miskin semua mendapatkan fasilitas dan hak pendidikan yang sama. Sistem Islam yang telah berdiri kokoh selama 13 abad lamanya tercatat mampu memberikan layanan pendidikan terbaik sepanjang sejarah peradaban dunia. Ini tak lepas dari perannya Negara Khilafah sebagai institusi penyelenggara pendidikan.
Negara langsung yang mengurus komponen-komponen pendidikan, seperti kurikulum, bahan ajar, dan metode pengajarannya. Seluruh sekolah harus menggunakan komponen-komponen pendidikan yang telah disusun oleh negara tersebut agar setiap sekolah kualitasnya sama. Sehingga tidak akan terjadi stigma sekolah favorit dan non favorit.
Selain itu negara menjadi bertanggung jawab memfasilitasi sarana-sarana fisik penunjang belajar. Maka tak heran jika dimasa berjanya khilafah berhasil mencetak ilmuwan-ilmuwan yang penemuannya bisa kita rasakan hingga saat ini. Seperti Maryam Al-astourlabi penemu astorolube yang menjadi cikal bakal adanya GPS/ Maps yang kita gunakan sekarang.
Selain menjamin pemerataan pendidikan, negara khilafah juga menjamin gratisnya pendidikan bagi seluruh warga negara khilafah tanpa terkecuali. Pembiayaan pendidikan tersebut diambil dari Baitul Mal. Hanya khilafah satu-satunya solusi tuntas untuk permasalahan-permasalahan pendidikan yang terjadi sekarang.
Oleh karena itu untuk mengakhiri permasalahan ini sudah saatnya kita membuang jauh-jauh sistem kapitalis dan menerapkan sistem Islam agar segera tercipta pendidikan yang berkualitas dan lahirlah generasi pengukir tinta emas peradaban. (*)