POLITIK | NUSANTARA
“Jadi persoalan jabatan yang diberikan kepada Luhut bukan karena Jokowi tidak percaya orang lain. Bisa jadi di mata Jokowi di negeri ini hanya ada Luhut. Sehingga ada guyonan di publik, mirip iklan teh botol,”
Lapan6Online | Jakarta : Big data yang digaungkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait keinginan masyarakat agar Pemilu 2024 ditunda adalah berita bohong alias hoaks.
Hal ini seperti dikatakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Dia menegaskan masyarakat tidak perlu percaya dengan pernyataan Luhut soal big data itu.
“Jangan takut. Jangan mudah terpengaruh kepada apa yang disampaikan berita bohong ini,” tegas La Nyalla, pada Kamis (14/4/2022) lalu.
“Jadi saya sampaikan bahwa yang disampaikan oleh saudara Luhut Binsar Pandjaitan itu adalah (berita) bohong. Saya hanya menyampaikan itu (berita) bohong,” kata La Nyalla.
Mantan ketua umum PSSI itu meminta masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh dengan pernyataan Luhut tersebut. Karena, klaim big data tersebut merupakan informasi bohong.
Meski demikian, La Nyalla tak ingin ikut campur terkait urusan posisi Luhut perlu mundur atau tidak setelah menyampaikan berita bohong tersebut.
“Perkara dia mau di-reshuffle, itu bukan urusan saya. Saya hanya menyampaikan kepada publik. Jadi, saya hanya menegakkan kebenaran saja,” ujar La Nyalla.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, ada 110 juta masyarakat yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.
Luhut mengaku mengetahui jumlah masyarakat yang menginginkan penundaan Pemilu 2024 melalui big data yang diklaim miliknya itu.
Namun, Luhut enggan membuka big data tersebut saat bertemu dengan BEM UI di Depok pada Selasa (12/4/2022) lalu.
“Apa kewajiban saya harus mempertanggungjawabkan soal big data itu?,” cetus Luhut dikutip dari Jawapos.com.
Sementara itu, rangkapnya jabatan Luhut Binsar Pandjaitan menjadi contoh buruk dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi hal itu dilakukan bukan karena kekurangan sumber daya manusia.
“Di mata Presiden Joko Widodo dianggap bisa jadi hanya seorang Luhut semata,” ujar Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, pada Kamis (14/4/2022).
Dengan hal itu, Luhut selalu diberikan jabatan hingga tercatat sebanyak 10 jabatan diembannya.
Muslim Arbi mengatakan, jabatan baru yang diemban Luhut selaku menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai ketua Dewan Harian Nasional SDA dianggap melengkapi rangkap jabatan yang bertentangan dengan UU.
“Di mana seseorang dilarang rangkap jabatan, dan ini suatu pelanggaran, tidak bisa ditolerir. Karena tidak dibenarkan seseorang langgar UU dengan sengaja. Apalagi itu dilakukan oleh seorang presiden atau kepala negara. Ini contoh buruk bagi ketaatan terhadap UU,” ujar Muslim.
Karena kata Muslim, jangan salahkan rakyat bila melakukan hal yang sama seperti Presiden Jokowi, yaitu melanggar UU secara sengaja.
“Jadi persoalan jabatan yang diberikan kepada Luhut bukan karena Jokowi tidak percaya orang lain. Bisa jadi di mata Jokowi di negeri ini hanya ada Luhut. Sehingga ada guyonan di publik, mirip iklan teh botol, Apa pun jabatannya Luhut lah orangnya. Dan ini pasti timbulkan antipati di masyarakat,” pungkas Muslim.
Di sini lain, untuk mendongkel posisi Luhut Binsar Pandjaitan dari jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI) Saiful Anam menyarankan Megawati harus bisa tegas kepada Jokowi.
“Mega dapat menegaskan kepada Jokowi, mau pilih Megawati dan PDIP atau Luhut Binsar Pandjaitan?” ujar Saiful, pada Rabu (14/4/2022).
Jika Megawati dan Jokowi kompak, maka dengan sangat mudah mendongkel Luhut dari kursi menteri.
“Meskipun bisa jadi pada akhirnya justru Jokowi merasa tidak nyaman lagi di PDIP. Sehingga bukan tidak mungkin yang bersangkutan keluar dari PDIP. Saya kira semuanya bisa terjadi, termasuk kemungkinan Mega dan Jokowi bersatu untuk melakukan reshuffle terhadap posisi Luhut dari kursi Menko,” ujar Muslim.
Menurutnya, hal itu sebenarnya tak sulit, seperti pandangan banyak orang.
Syaratnya, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, harus kompak.
Karena itu, menurut Saiful, Megawati harusnya tidak bersikap maju mundur dan membiarkan Jokowi seperti dikuasai oleh Luhut.
Karena hal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi perjalanan PDIP.
“Jokowi kan kader bahkan dimajukan oleh PDIP, sehingga saya kira terlalu naif kalau misalnya berani melawan titah dan perintah partai,” terang Saiful seperti dikutip dari RMOL.id. (*BBS/Red)