“Tetangga bilang kalau ada masalah rumah tangga selesaikan saja sana baik-baik, jangan bikin ribut di sini dengan membawa banyak orang begini. Penghuni di sini bukan mereka saja,”
Lapan6Online | Jakarta : Margaretha Elfrieda Sihombing (32), seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban penyekapan dan/atau penyanderaan bersama dua anak balitanya, mendatangi Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Kejaksaan Agung (Jamwas Kejagung) Republik Indonesia, pada Jumat (1/10/2021) kemarin.
Kepada awak media yang mencegat untuk meminta keterangannya, Margaretha mengaku merasa terintimidasi dan dirampas kemerdekaan dan hak azasinya, oleh sekelompok orang yang diduga datang atas suruhan suaminya Theo Simorangkir.
Jumat sore itu Margaretha datang ke Kejagung bersama kedua anaknya, kedua orang tuanya, dan sejumlah kerabat serta para pengacara dari kalangan pesukuan Marga Sihombing.
Ikut mendampingi dalam rombongan tersebut Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, atas permintaan korban.
Di gedung para pengacara negara itu, Margaretha diterima di ruang pelayanan pengaduan Jamwas Kejagung sekira pukul 15.30 wib, bersama ayahnya Mori Sihombing dan dua orang pengacaranya.
Pada kesempatan itu, Margaretha menyampaikan bahwa dirinya datang untuk meminta perlindungan hukum atas perlakuan suaminya, Theo Simorangkir, SH, yang merupakan Jaksa di Kejari Bandung.
“Saya datang untuk meminta perlindungan hukum dari Kejaksaan Agung terhadap perlakuan yang terindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh suami saya dan kawan-kawannya, seperti yang baru saja terjadi kemarin, saya dan kedua anak saya yang masih balita dirampas hak kemerdekaan saya, terkurung di dalam apartemen selama dua hari. Saya takut keluar karena di luar unit, dan di halaman apartemen dijaga banyak orang yang diduga disuruh suami saya, Theo Simorangkir. Di hari Kamis kemarin, 30 September, dari pagi saya dan anak-anak kelaparan di apartemen karena kebetulan gas habis, dan tidak bisa masak,” beber Margaretha dengan nada sedih kepada staf yang bertugas yang menerima pengaduannya.
Sebagaimana diberitakan sehari sebelumnya, Margaretha Elfrieda Sihombing, SH, sempat disandra atau disekap di apartemen St. Morizt, lantai 7, Jl. Puri Indah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Margaretha bersama dua anak kandungnya tidak bisa keluar unit karena kuatir anaknya akan diambil paksa oleh Theo Simorngkir yang datang bersama sejumlah orang yang diduga kuat kelompok preman suruhan Theo [1].
Saat dikonfirmasi di tempat kejadian, di halaman apartemen St. Morizt, staf Theo Simorangkir bernama Nugi Nurgaha, SH, yang datang mengawal Theo lengkap dengan Kartu Tanda Anggota Kejari Bandung tergantung di lehernya, mengatakan bahwa Theo Simorangkir rindu ingin bertemu anaknya.
“Oleh karena itu, dia datang untuk mengambil kedua anaknya itu tapi tidak diizinkan oleh Margaretha,” kata Nugi yang mengaku datang bersama atasannya, Theo Simorangkir dan dua orang saudaranya Theo.
“Mengapa datang dengan rombongan banyak orang?” tanya wartawan yang sempat mewawancarai Nugi Nugraha. “Oh, itu tidak benar, kami hanya datang berempat,” ujar Nugi membantah informasi tersebut.
Faktanya, sebelum pewarta datang ke lokasi tersebut, terlihat kerumunan orang-orang berpakaian gelap lebih dari 20 orang. Namun ketika pewarta hadir di lokasi, mendadak satu per satu dari kerumunan manusia di depan pintu masuk lobby apartemen mundur dan menjauh dari lokasi.
Ketika dikonfirmasi oleh petugas Jamwas Kejagung soal kejadian penyanderaan itu, Margaretha mengatakan bahwa orang-orang itu tiap sebentar naik ke unit saya dan mengetok pintu, minta dibukakan pintu, katanya untuk mengecek keberadaan Margaretha dan anak-anaknya.
“Saya takut bukakan pintu. Ketika mereka masih datang ketok-ketok pintu sekitar jam 7 malam, tetangga keluar dan marah-marah mendengar keributan di luar unit. Terus, saya dengar suara Theo bilang, di dalam situ ada anak-anak saya dan istri saya ngumpet. Tetangga bilang kalau ada masalah rumah tangga selesaikan saja sana baik-baik, jangan bikin ribut di sini dengan membawa banyak orang begini. Penghuni di sini bukan mereka saja, ada kami dan warga lain yang merasa terganggu,” beber Margaretha menirukan perkataan tetangga yang didengarnya dari dalam kamar.
Pada bagian lain, petugas Jamwas menanyakan peran manajemen dan bagian keamanaan apartemen yang terkesan lalai dalam mengantisipasi kejadian intimidasi terhadap korban, dan dijawab oleh Margaretha bahwa dia sudah komplain ke manajemen apartemen.
“Kelihatan sekali kalau manajemen apartemen itu mendukung mereka, katanya karena mereka bawa polisi mencari saya ke situ,” ungkapnya.
Pada akhir pertemuan, petugas meminta agar Margaretha membuat laporan pengaduan tertulis yang ditujukan kepada Jamwas Kejagung RI.
“Kita sarankan Ibu Margaretha membuat laporan tertulis ke Jamwas, nanti kita sampaikan kepada Jamwas, dan ditindak-lanjuti,” demikian arahan petugas yang tidak dapat dikenali namanya karena tidak menyebutkan nama dan tidak mengenakan KTA kepegawaiannya.
Sementara itu, salah satu pengacara Margaretha Sihombing usai diterima Jamwas Kejagung, Happy SP Sihombing, SH, MH, mengatakan bahwa pihaknya sangat menyayangkan kejadian penyekapan dan/atau penyanderaan yang terjadi terhadap klien-nya.
“Dengan kejadian kemarin, tanggal 29 dan 30 September, ada upaya dari pihak ketiga yang diduga adalah suruhan Theo, yang disuruh itu diduga adalah preman-preman yang akan mengambil secara paksa anak-anak dari Margaretha. Dengan kedatangan itu maka membuat masalah baru, yang membuat Margaretha merasa dipaksa dan itu perbuatan tidak menyenangkan,” jelas Happy Sihombing [2]. (APL/Red)