Soroti Terdakwa jadi Tahanan Rumah, Kuasa Hukum Pelapor Minta PN Jaksel Terapkan Asas Equality Before the Law

0
7
“Maka dari ini, saya meminta kita semua ya kita terapkan lah benar-benar asas equality before the law, jangan kita menganggap itu hanya sebagai bacaan doang di dinding,”

JAKARTA | Lapan6Online : Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam Perkara dugaan penipuan dengan terdakwa Shirly Prima Gunawan menjadi sorotan Kuasa Hukum Rizky Ayu Jessica (Pelapor) Martin Lukas Simanjuntak.

Martin dengan tegas meminta agar Lembaga peradilan (Khususnya PN Jaksel), konsisten dalam menerapkan kesetaraan sebelum keadilan atau ‘equality before the law’. Permintaan itu menyoal indikasi perlakuan khusus terhadap terdakwa Shirly Prima Gunawan, terduga penipu, penggelapan, dan pemalsuan terkait surat izin usaha perdagangan (SIUP).

Menurut Martin, sebelumnya terdakwa ditahan di rutan oleh pihak kejaksaan, namun pada sidang pertama, terdakwa langsung ditetapkan menjadi tahanan rumah oleh majelis hakim.

Menanggapi hal tersebut, pihak kuasa hukum korban (Rizky Ayu Jessica) yang notabene adalah Pelapor, mempertanyakan kapan surat permohonan untuk menjadi tahanan rumah dikirimkan (diajukan).

Kubu pelapor Rizky Ayu Jessica juga memprotes pengabulan permohonan tahanan rumah terhadap terdakwa Shirly oleh PN Jaksel yang dinilai tidak menerapkan asas Equality Before The Law.

Martin mempertanyakan, kapan pengiriman surat permohonan itu, kapan dibaca, kapan dimusyawarahkan, dan kapan dinilai oleh Majelis Hakim atas perkara nomor: 136/Pid.B/2023/PN JKT.SEL di PN Jaksel yang diketuai oleh Hakim Samuel Ginting, bahwa terdakwa layak menjadi tahanan rumah. Sedangkan di sidang pertama terdakwa sudah langsung ditetapkan menjadi tahanan rumah?

Menurut Martin, proses seperti itu sejatinya hampir mustahil terjadi. Ia pun menduga ada perlakuan khusus oleh pihak PN Jaksel terhadap terdakwa Shirly Prima Gunawan.

“Maka dari ini, saya meminta kita semua ya kita terapkan lah benar-benar asas equality before the law, jangan kita menganggap itu hanya sebagai bacaan doang di dinding,” kritik Martin Lukas Simanjuntak dalam keterangan resminya kepada Wartawan di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Martin juga mempersoalkan saksi ahli pidana yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ditolak oleh hakim.

“Padahal sesuai KUHAP pasal 160 huruf c, dalam hal ada saksi baik yang memberatkan atau meringankan terdakwa yang diminta selama persidangan atau sebelum putusan maka hakim ketua wajib mendengar kesaksiannya,” tukasnya.

Atas kejadian tersebut, selain komitmen melakukan supervisi pada setiap agenda persidangan, Martin dan anggota tim kuasa hukum korban akan bersurat kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut memantau jalannya persidangan agar persidangan dapat berjalan dengan profesional dan objektif.

Diinformasikan, kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan utang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.

SIUP (diduga palsu) yang digunakan oleh terdakwa Shirly Prima Gunawan dibuat seolah-olah terdakwa memiliki toko tas mewah sebagaimana yang tercantum pada SIUP tersebut.

“Ternyata setelah dilakukan pengecekan, SIUP itu ternyata palsu dan tidak pernah dikeluarkan oleh Kecamatan Kelapa Gading dan toko tas tersebut juga bukan milik terdakwa.” terang Martin.

Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN JKT.SEL.

“Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil.” tandasnya. (*/ADM/Lpn6)