Subsidi, Beban atau Kewajiban Negara?

0
17
Novita Darmawan Dewi/Foto : Ist.

OPINI

“Menurut konsep liberalisme, pelayanan publik harus mengikuti pasar, dan negara harus menggunakan pendekatan prinsip untung rugi,”

Oleh : Novita Darmawan Dewi

SUBSIDI yang tak asing kita dengar setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan berkaitan dg BBM, LPG, dan Listrik. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, membuat panik masyarakat dengan berbondong mengisi BBM pada saat itu. Pemerintah memberikan alasan klasiknya bahwa subsidi BBM membebani APBN.

Miris, subsidi yang seharusnya menjadi kewajiban negara justru dianggap membebani negera. Mengapa demikian? Ini jelas pandangan yang sangat salah kaprah.

Definisi subsidi versi kapitalisme di artikan sebagai “kebaikan” namun jika kita merujuk pada islam, subsidi itu merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hajat rakyat.

Subsidi dalam pandang kapitalisme neoliberalisme
Sistem ekonomi neoliberalisme digagas oleh Friedrich dan Milton Freidmen. Pada tahun 1981 ketika Ronald Reagan masih menjabat sebagai presiden AS, di anggap momentum lahirnya neoliberalisme hingga sekarang.

Neoliberalisme itu sendiri merupakan liberalisme yang dimodernisasi dengan rancangan pasar bebas, pembayaran peran negara dan individualisme.

Bagi neoliberalisme, intervensi pemerintah merupakan ancaman besar. Dari sini kita bisa memahami mengapa subsidi itu di cabut, karna subsidi di anggap sebagai intervensi pemerintah. Neoliberalisme ini anti subsidi. Menurut konsep liberalisme, pelayanan publik harus mengikuti pasar, dan negara harus menggunakan pendekatan prinsip untung rugi.

Subsidi dalam islam
Islam memiliki cara pandang khas mengenai subsidi. Subsidi ini hukumnya boleh bahkan bisa juga wajib. Subsidi di anggap salah satu uslub yang boleh di lakukan negara karna termasuk pemberian harta milik negara kepada individu yang menjadi hak rakyat.

Pada saat itu Umar Ibnu Khattab mengambil harta dari baitul mall dan memberikan kepada petani di Irak agar mereka bisa mengolah lahan pertanian.  Maka atas dasar itu negara boleh memberikan subsidi pada rakyat.

Ada beberapa contoh subsidi; pangan, pelayanan publik (jasa telekomunikasi, jasa perbankan syariah, jasa transportasi umum) dan subsidi energi seperti BBM dll. Khalifah dapat memberikan hal hal tersebut secara gratis, atau menjual pada rakyat namun sebatas ongkos produksi dan sesuai harga pasar.

Pemberian ini merupakan gak khalifah dalam mengelola harta milik negara. Khalifah juga boleh mengekhususkan pemberian untuk sektor yang sangat di butuhkan. Semua ini hak khalifah berdasarkan syariah dan ijtihad demi kemaslahatan rakyat.

Namun dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian yang pada asalnya boleh bisa juga jadi wajib hukum sebagai upaya mengikuti kewajiban syariah mewujudkan keseimbangan ekonomi.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr:7).

Nabi Muhammad SAW pernah memberikan fai’ Bani Nadhir hanya kepada kaum Muhajirin karna pada saat itu beliau melihat ketimpangan ekonomi antar Muhajirin dan anshor.

Dalam kasus BBM dan sejenisnya subsidi tidak sekedar boleh, melainkan wajib agar ketimpangan di masyarakat antara miskin dan kaya tidak semakin lebar. Maka subsidi menyeluruh untuk semua sektor itu adalah wajib secara syariah. Wallahua’lam. [*GF/RIN]

*Penulis Adalah Komunitas Ibu Ideologis