OPINI | POLITIK
“Sehingga wajar jika keberadaan koruptor dan para mafia sulit diberantas bahkan bebas melenggang. Padahal, semestinya penguasa menyelenggarakan kepemimpinan secara independet tidak bergantung dengan pihak manapun,”
Oleh : Puput Hariyani, S.Si
KONTESTASI politik 2024 semakin dekat. Aroma persaingan antar elite politik terus menguat, ditandai dengan bertebarannya baliho yang terpasang di setiap sudut kota maupun desa. Padahal, gema jeritan masyarakat masih menggema di seluruh nusantara. Rakyat masih berjuang untuk bertahan hidup tersebab melambungnya harga kebutuhan pangan, salah satunya adalah minyak goreng.
Pasca pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sejak Rabu 16 Maret 2022, harga minyak goreng kemasan langsung melambung tinggi.
Pada saat yang sama, nurani masyarakat tersakiti oleh pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang meminta ‘emak-emak’ untuk
merebus makanan ketimbang mengeluhkan kelangkaan dan mahalnya minyak goreng.
Pernyataan ini memicu sesal dari warganet, tidak seharusnya pemimpin partai yang mengatasnamakan partai ‘Wong Cilik’ justru tidak berpihak kepada rakyat (inilah.com).
Sebelumnya dilansir dari Fajar.co.id publik dibuat muak dengan aksi bagi-bagi minyak goreng bersubsidi di tengah kelangkaan sebelum dicabutnya HET yang menyeret nama dua partai politik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hal ini menjadikan masyarakat berspekulasi bahwa mereka turut menimbun. Mengambil kesempatan di tengah penderitaan untuk memenuhi syahwat kekuasaan demi pencitraan.
Wajar jika masyarakat mempertanyakan posisi wakil rakyat yang tampak lebih fokus menyiapkan diri menyongsong kontestasi pemilu ketimbang memikirkan nasib rakyat.
Hal ini juga dirasakan oleh Ketua Umum Kornas Jokowi Abdul Havid Permana hingga meminta Presiden Joko Widodo untuk menegur para menterinya yang sibuk mempersiapkan diri untuk pemilihan 2024.
Dia pun meminta secara langsung kepada menteri yang hanya sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya agar kembali menjalankan tugas-tugas demi kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (MediaIndonesia.com).
Inilah watak asli demokrasi. Rezim neolib yang melahirkan politisi sekuler. Politisi yang tidak lagi menggunakan standar agama dalam pengaturan urusan negara. Asas sekulerisme dari sistem demokrasi telah menancapkan syahwat kekuasaan tanpa memandang belas kasihan.
Mahalnya harga kontestasi di alam demokrasi memaksa para penguasa membentuk oligarki untuk mempertahankan kekuasaan, sehingga tidak aneh jika kita temukan “perselingkuhan” penguasa dan pengusaha. Keterlibatan koorporasi sebagai simbolis mutualisme sulit untuk dihindari.
Pengusaha menginginkan kelanggengan bisnis dan singgasana kekuasaan penguasa yang menjadi penjamin terjaganya kepentingan mereka. Sehingga wajar jika keberadaan koruptor dan para mafia sulit diberantas bahkan bebas melenggang. Padahal, semestinya penguasa menyelenggarakan kepemimpinan secara independet tidak bergantung dengan pihak manapun. Namun, fakta hari ini sekaliber pemerintah kuwalahan memberantas keberadaan mafia.
Melalui kanal liputan6.com diwartakan, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi meminta maaf karena tak bisa mengontrol mafia minyak goreng.
“Kami menyampaikan permohonan maaf, Kementerian Perdagangan tidak bisa mengontrol,” katanya dalam rapat bersama DPR, Jakarta, Kamis (17/3).
Ketidakberdayaan penguasa menghadapi korporasi yang mencekik rakyat mengindikasikan mental penguasa yang tak peduli terhadap nasib umat, padahal negara memiliki seperangkat hukum yang bersifat mengikat.
Hal ini jauh berbeda dengan kepemimpinan Islam dengan akidah Islam sebagai landasan. Bukan saja mencetak pemimpin yang takut kepada Rabbnya secara personal, tetapi menjadi pelaksana syariah untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Aturan Islam akan menghentikan segala bentuk praktik yang memunculkan hasrat kekuasaan. Selain tegasnya ancaman Islam bagi pemimpin yang tidak amanah dan dzalim, juga mekanisme syariah dalam menerapkan hukum dan mensolusi problem di tengah masyarakat yang sepenuhnya di tangan syariat bukan di tangan manusia sebagaimana demokrasi. Dengan demikian akan tercipta kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan yang dipayungi nuansa ketakwaan. Wallahu’alam bi ash-showab. (*)
*Penulis Pendidik Generasi