“Pada akhirnya banyak masyarakat yang masa bodo dengan wabah ini. Pasar kembali ramai, jalanan mulai padat dan mall-mall kembali dibuka. Ini menambah ketakutan sendiri karena bisa memicu gelombang kedua Covid-19 ini terutama para nakes yang nantinya akan dibuat kewalahan,”
Oleh: Azizha Nur Dahlia
Jakarta | Lapan6Online : Tagar Indonesia Terserah yang baru-baru ini trending di jagat Twitter sempat menyedot perhatian warganet. Bagaimana tidak, pasalnya tenaga kesehatan atau nakes ini dibuat kesal akibat peraturan yang dibuat pemerintah berubah-ubah. Tidak adanya perhatian khusus kepada para nakes seakan mereka berjuang di medan perang sendirian.
Tak hanya para nakes yang dibuat kesal oleh pemerintah, masyarakat juga merasakannya. Sejak awal Covid-19 mulai terdeteksi di Wuhan saja, ketika negara lain mulai menutup segala akses masuk wisatawan ke negaranya justru Indonesia malah membuka pintu lebar-lebar bagi wisatawan untuk masuk terutama yang dari Wuhan. Pemerintah pun rela menggelontorkan dana sebesar 72M bagi influencer untuk mempromosikan wisata di Indonesia yang mengalami penurunan minat kala itu.
Ketika Covid-19 pertama kali muncul di Indonesia, pemerintah malah santai terhadap penanganan wabah ini. Ketika, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengusulkan penerapan lockdown di daerah terjangkit, justru pemerintah menawarkan solusi darurat sipil yang sempat dikritik karena ini tidak relevan dengan apa yang terjadi. Lalu tidak lama pemerintah menerapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Bila ditelisik lebih dalam solusi yang dikeluarkan pemerintah semua terlihat lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Dengan penerapan PSBB, berakibat besarnya gelombang PHK sehingga ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan pedagang kehilangan konsumen. Perputaran ekonomi pun sempat melambat.
Tak ayal warga yang kehilangan sumber penghasilan mudik ke kampung halamannya karena tidak mendapatkan pemasukkan di perantauan. Tidak hanya satu atau dua namun ribuan. Pemerintah dianggap lepas tangan untuk menjamin kehidupan rakyatnya dan tidak mau menanggung beban dalam hal ini adalah kecukupan ekonominya. Momen ini yang berdekatan dengan lebaran yang identik dengan mudik akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan peraturan kebijakan tentang hal ini.
Saat di sesi wawancara, Presiden Jokowi mengeluarkan statement tentang perbedaan mudik dan Pulang Kampung yang seakan beda sekali maknanya. Akibatnya banyak orang yang dibuat heran karena hal ini. Tidak lama pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang mudik lokal yang tak kalah membingungkannya dengan kebijakan sebelumnya. Baru-baru ini masyarakat dibuat gemas tentang penumpukkannya calon penumpang di Bandara Soetta tanpa adanya physical distancing. Ditambah lagi rute kereta jarak jauh yang selama ini ditutup kembali dibuka. Ini membuat pemerintah menujukkan sisi lainnya dalam inkosistensi kebijakan yang dibuat.
Per -19 Mei 2020 sudah sebanyak 18.496 pasien terkonfirmasi Covid-19 dan sebanyak 1.221 orang dinyatakan meninggal. Penyebarannya hampir merata ke seluruh wilayah di Indonesia. Ditambah lagi tidak harmonisnya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat keputusan kerap kali membuat masyarakat nambah bingung. Ini mungkin tidak dapat dipercaya dalam masa seperti ini saat kerja sama dibutuhkan justru malah membuat kebijakan yang tumpang tindih.
Pada akhirnya banyak masyarakat yang masa bodo dengan wabah ini. Pasar kembali ramai, jalanan mulai padat dan mall-mall kembali dibuka. Ini menambah ketakutan sendiri karena bisa memicu gelombang kedua Covid-19 ini terutama para nakes yang nantinya akan dibuat kewalahan dengan pasien yang terus melonjak naik.
Ternyata diam-diam pemerintah sedang menerapkan herd immunity, siapa yang kuat dia yang bertahan sederhananya begitu. Secara tidak langsung masyarakat akan memasuki arena pertarungan yang tidak tahu siapa lawannya namun harus tetap bertarung. Karena pada dasarnya herd immunity ini merupakan salah satu solusi dari kapitalis yang tidak perlu mengeluarkan biaya banyak.
Dengan modal “Mari Berdamai Dengan Covid-19” mengindikasikan pemerintah yang barangkali menyerah dalam peperangan padahal belum mulai sama sekali. Ketika metode ini diterapkan, maka kantor-kantor akan kembali bekerja lalu mall-mall kembali beroprasi, sekolah-sekolah kembali memulai kegiatannya dan sederet aktivitas penunjang lainnya. Apapun caranya yang terpenting perputaran ekonomi harus tetap berjalan yang penting ada pemasukan bahkan harus mengorbankan nyawa sekali pun.
Tetapi nyatanya perputaran ekonomi bergerak pada lingkaran pemilik modal saja, rakyat akan tetap nelangsa. Karena pada dasarnya pemerintah yang mengimani ekonomi kapitalisme neoliberal akan terus tunduk pada pemiliknya. Mulai dari sumber daya alam sampai sumber daya manusia semua dijual kepada pemilik dengan dalih untuk memberikan suntikkan ekonomi Indonesia agar menguat. Inilah bukti pemerintah tak serius tangani pandemi.
Ini sungguh berbeda dengan Islam. Bagaimana Islam sungguh protektif terhadap sebuah nyawa, apapun dilakukan untuk menyelamatkan dan melindungi rakyat. Sehingga ketika wabah datang, negara langsung menerapkan kebijakan lockdown sabda Rasulullah SAW ketika menangani wabah. “Apabila kalian mendengar suatu wabah disuatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan lockdown, ada pemisahan bagi daerah yang sudah terinfeksi dan yang masih steril. Pemisahan ini dilakukan agar yang sudah terinfeksi bisa difokuskan untuk mendapatkan pengobatan dan tidak menulari yang lain. Dan bagi di daerah yang belum terkena wabah bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Dengan cara ini penanganan akan cepat terselesaikan. Bukan justru membahayakan jiwa rakyat sendiri. Sungguh tega.
Ketika negara menerapkan lockdown, otomatis negara harus menjamin kebutuhan dasar rakyatnya. Nah, biaya untuk penerapan lockdown diambil dari baitul mal. Salah satu pemasukkannya berasal dari pos milkiyyah ammah atau dari kepemilikkan publik seperti pemanfatan air, padang dan berbagai hasil alam lainnya. Pemanfaatannya itu harus dilakukan oleh negara dan disalurkan kembali kepada rakyat untuk digunakan kebutuhan yang bersifat publik. Misalnya pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Pembiayaannya juga tidak hanya dari pos milkiyyah ammah saja, tapi dari fa’i, kharaj, ghanimah, usyur dan lainnya. Yang ini tidak akan pernah ditemukan dalam sistem kapitalis egois seperti ini.
Tentunya, Islam sedari awal diterapkan untuk memberikan kenyaman dan keamaanan bagi siapa yang berada di naungannya. Dari bangun tidur sampai bangun negara semua ada dalam aturan Islam. Bahkan sampai pemanfaatan sumber daya alam sekalipun. Berbeda dengan kapitalis yang memberikan kebebasan dalam memiliki segala hal, tak tekecuali alam yang seharusnya tidak bisa kepemilikkannya dipindah ke tangan individu maupun swasta. ****
*Penulis adalah Mahasiswi Univ Bina Sarana Informatika