OPINI
“Kini justru dianggap menjadi beban tambahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan yang diharapkan dari sebuah negara yang berlandaskan Pancasila,”
Oleh : Saimariah
KEBIJAKAN program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang baru-baru ini diperbarui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) santer dibicarakan oleh masyarakat. Pasalnya, program tersebut bakal memotong gaji pekerja sebesar 2,5 persen setiap bulannya. Simpanan Tapera ini berlaku wajib bagi PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, BUMN, swasta, hingga pekerja mandiri.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Kebijakan itu dinilai semakin menambah beban hidup masyarakat di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak sebanding dengan kenaikan upah minimum tahunan.
Berdasarkan Pasal 1 PP Tapera, Tapera sendiri diartikan penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Sebenarnya pemerintah sudah menerapkan penarikan iuran Tapera secara wajib bagi PNS/ASN sejak Januari 2021 silam. Setelah mandatori diberlakukan terhadap PNS/ASN, selanjutnya iuran Tapera akan diperlukan secara bertahap mulai dari pegawai BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri, hingga karyawan swasta, baik yang bekerja sendiri maupun pemberi kerja.
Sebelum UU Tapera diterbitkan pada 2016, pemerintah membuat Rancangan UU (RUU) Tapera. Kemudian ruu itu, disetujui masuk RUU prioritas dan dibahas pada 2015 sebagai beleid inisiatif DPR. Saat itu pemerintah dan DPR menargetkan bisa mengesahkan RUU Tapera pada 2015.
Kendati wajib membayar iuran, saat itu pekerja juga tidak bisa seenaknya memanfaatkan tabungan tersebut. Sama dengan yang tertera di PP 21/2024, dalam RUU Tapera 2015 itu menyatakan peserta hanya bisa memanfaatkan tabungan untuk membiayai pembelian rumah, pembangunan, dan perbaikan rumah hanya satu kali selama menjadi peserta Tapera. Pemerintah kemudian menerbitkan UU Tapera pada 2016. Tujuannya untuk menghimpun dan menyediakan dana murah untuk pembiayaan perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Tapi kenyataannya program ini banyak sekali menuai kontra dari masyarakat khususnya yang menengah kebawah. Dengan yang berpenghasilan yang bisa dibilang cukup membuat mereka merasa terbebani dengan jumlah uang yang harus di iurkan kepada pemerintah nantinya.
Bahkan banyak pekerja dan buruh menganggap iuran Tapera sebagai potongan yang tidak adil dari penghasilan mereka yang penghasilannya yang sudah pas-pasan, ini adalah pemerasan. Bukannya membantu, malah menambah beban.
Selain beban finansial, kekhawatiran juga muncul terkait transparansi dan pengelolaan dana Tapera. Masyarakat meragukan efektivitas dan kejujuran dalam pengelolaan dana yang terkumpul. Karena seperti yang diketahui bahwa maraknya kasus korupsi belakang ini terjadi, membuat kepercayaan masyarakat melemah terhadap pejabat publik dan mempertanyakan apakah mereka yakin bisa bahwa dana itu tidak disalahgunakan.
Pemerintah beralasan bahwa Tapera ini adalah solusi penyediaan perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki perumahan. Ada 9,9 juta orang Indonesia yang belum memiliki rumah. Ada 14 juta warga berpenghasilan rendah yang tinggal dirumah yang tidak layak dihuni. Ada 81 juta penduduk usia milenial ( usia 25-40 tahun ) kesulitan memiliki hunian.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa besaran pungutan Tapera ini sudah dihitung. Ia pun membandingkan pungutan Tapera ini dengan kebijakan Iuran BPJS. Iuran BPJS awalnya ramai dikeritik. Namun, setelah berjalan, banyak orang merasakan manfaatnya karena mendapatkan perawatan di rumah sakit tanpa dipungut biaya. Presiden Jokowi optimistis bahwa setelah kebijakan Tapera berjalan, masyarakat akan merasakan manfaat yang diharapkan, serupa dengan pengalaman mereka terhadap layanan BPJS kesehatan.
Kenyataannya, beban hidup masyarakat justru ditambah dengan berbagai pungutan selain Tapera. Para pekerja sudah dihadapkan pada berbagai pungutan, antara lain : pajak penghasilan ( PPH ), pungutan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) yang sudah naik menjadi 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada awal tahun 2025. Presiden Jokowi juga baru saja menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi ( HET ) beras yang otomatis menambah beban pengeluaran warga.
Kini ditambah lagi pungutan Tapera yang sifatnya wajib. Sudah ada sanksi yang disiapkan oleh pemerintah untuk pekerja maupun pengusaha yang menolak ini. Mulai dari sanksi administratif, denda hingga ancaman pencabutan izin usaha untuk pengusaha. Bukankah ini menambah derita rakyat?!
Program Tapera yang awalnya untuk membantu masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni, kini justru dianggap menjadi beban tambahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan yang diharapkan dari sebuah negara yang berlandaskan Pancasila. Pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali program ini dan mencari solusi yang lebih adil dan efektif untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia.
Tapera adalah bentuk lepas tangan negara dari membantu rakyat memiliki hunian. Melalui Tapera rakyat dipaksa saling menanggung, baik yang mampu maupun yang tidak mampu. Sama seperti BPJS. Negara berlepas tangan dari kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara malah memaksa rakyat saling menanggung pelayanan kesehatan untuk mereka.
Siapa pun, termasuk penguasa, yang melakukan pungutan harta tanpa hak, tidak sesuai syariah diperingatkan oleh Nabi Saw. :
Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit ? Beliau menjawab, meskipun hanya sebatang kayu arak ( kayu untuk siwak ). ( HR. Ahmad )
Sebagai mana Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka diantara kalian.” (TQS an-Nisa’ ayat 29)
As-Sa’di menjelaskan maksud QS an-Nisa’ ayat 29 ini. Bahwa Allah SWT telah melarang hamba-hambanya yang mukmin untuk memakan harta diantara mereka dengan cara batil. Karena ini sudah termasuk perampasan dan mencuri. Juga mengambil harta dengan cara berjudi dan berbagai usaha yang tercela. (As-Sa’di, Taysiir al-kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Manaan, 1/175).
Berbeda dengan pada masa tegaknya khilafah, Islam justru mewajibkan negara, (Khalifah ) untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah baik rumah pribadi maupun rumah sewaan. Negara melarang praktik Ribawi dalam jual- beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apapun adalah dosa besar.
Hal ini telah di contohkan oleh Rasulullah saw. dan para Khalifah sepeninggal Rasulullah saw.. Rasulullah Saw.misalnya menyediakan dokter yang beliau terima dari Raja Mesir untuk melayani umat yang sakit. Rasulullah Saw, juga menyediakan jaminan hidup untuk para Ahlus-Suffah yang merupakan kaum dhu’afa dan para pencari ilmu dimadinah. Islam sebagai ideologi yang sempurna mewajibkan Negara khilafah untuk melindungi harta rakyat dan menjamin kehidupan mereka . Karena rakyat bagi seorang khalifah adalah suatu amanah yang harus dijaga.
Sebagai mana Nabi Muhammad Saw bersabda :
“Imam (khalifaj) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. ( HR.Al-Bukhori dan Ahmad )
Dimasa kekhilafahan Islam memiliki rumah tidaklah sulit. Karena sistem ekonomi Islam membagi 3 klasifikasi atas harta. Pertama, harta individu yang boleh dimiliki oleh setiap individu warga negara. Kedua, harta negara yang merupakan uang masuk untuk kas negara dan dikeluarkan juga untuk pembiayaan negara. Dan ketiga harta milik umum.
Dalam Islam, harta milik umum ini akan dikelola oleh negara namun keuntungannya akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Misalnya untuk sumber daya alam pertambangan hanya boleh dikelola oleh negara, swasta atau individu warga negara dilarang untuk memprivatisasi sumber daya alam ini.
Keuntungan dari hasil pengelolaan pertambangan ini akan dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Sehingga sangat wajar jika di masa kekhilafahan Islam harga-harga bahan pokok, pendidikan dan kesehatan akan menjadi murah bahkan gratis. Hal ini tentu akan meringankan beban rakyat, sehingga rakyat mampu menyisihkan uangnya untuk dapat membangun rumah yang layak huni dengan mudah.
Demikianlah Islam menciptakan sistem kekuasaan dan para penguasa yang benar-benar me-ri’ayah (mengurus) umat. Dengan rasa takwa kepada Allah, para penguasa Islam menjalankan tugas/amanah yang mereka emban untuk melindungi, menjamin, dan mensejahterakan kehidupan rakyat.
Karena mereka memang betul-betul sangat mengetahui bahwa jika mereka tidak bisa mengemban amanah yang telah diberikan kepada mereka, maka suatu saat pasti jabatan mereka bisa membawa bencana bagi mereka pada hari akhir.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Setiap pemimpin yang memimpin rakyat nya pada hari kiamat nanti pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkram tengkuknya dan mengangkat dia sampai kelangit. Kalau ada perintah dari Allah, lemparkanlah! Malaikat itupun akan melemparkan dirinya kebawah yang jaraknya adalah empat puluh tahun perjalanan” (HR. Ibnu Majah). Wallahu a’alam. (**)