OPINI | EDUKASI
“Berulangnya kasus kekerasan di kalangan pelajar semestinya mengetuk nurani seluruh lapisan masyarakat termasuk pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh,”
Oleh : Puput Hariyani, S.Si
PEMUDA hari ini adalah pemimpin masa depan. Namun apa jadinya jika pemuda kita hari ini krisis moral. Siapakah yang akan memimpin negeri ini di masa yang akan datang?
Sungguh miris, kasus tawuran pelajar terus berulang. Baru-baru ini Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Depok menangkap tujuh anak muda yang hendak tawuran. Para ABG itu diketahui tengah siaran langsung di media sosialnya untuk mencari lawan tawuran (detikNews.com).
Disusul kasus yang terjadi di Semarang. Berdasarkan berita yang dirilis republika.co.id, Anggota Satlantas Polres Semarang menggagalkan aksi tawuran yang melibatkan sejumlah siswa SMP, di jalan utama Bawen-Salatiga, di wilayah Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Senin (14/2) petang. Delapan siswa SMP diamankan berikut sejumlah peralatan yang diduga akan digunakan sebagai senjata dalam aksi tawuran ini. Beberapa di antaranya adalah senjata tajam (sajam) jenis sabit dan sabuk gir sepeda motor.
Berulangnya kasus kekerasan di kalangan pelajar semestinya mengetuk nurani seluruh lapisan masyarakat termasuk pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Pasalnya, tawuran pelajar tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindak kriminal ini sangat berbahaya. Penggunaan senjata tajam sangat berpotensi memakan jatuhnya korban.
Evaluasi mendasar pada sistem pembangunan generasi harus segera dilakukan. Dimulai dari pendidikan dalam keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Pertama, pendidikan keluarga. Sudahkah keluarga hari ini (terutama ibu) memerankan fungsinya sebagai madrasah pertama bagi putra-putrinya? Sudahkah keluarga menjadi pihak pertama yang menancapkan pondasi akidah yang kokoh? Tampaknya sebagian besar jawabannya adalah belum.
Banyak keluarga muslim yang belum memiliki pemahaman tentang bagaimana cara mendidik anak. Minimnya ilmu adalah salah satu pemicunya, ditambah visi misi pernikahan yang belum terbangun.
Keluarga muslim hari ini juga banyak disibukkan oleh berbagai persoalan yang berdampak pada minimnya perhatian dan pendidikan anak. Misalnya persoalan ekonomi, para ibu terpaksa meninggalkan rumah untuk membantu para ayah agar dapur tetap mengepul. Dan seambrek persoalan lain yang tak kunjung tuntas.
Kedua, sekolah. Sekolah semestinya melanjutkan bangunan yang sudah terbentuk dalam keluarga karena pendidikan adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan saling mendukung. Namun, sekolah tampaknya juga belum memiliki kurikulum yang jelas dalam mencetak generasi, terbukti lebih dari sebelas kali kurikulum kita berganti.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Agent of control semestinya difungsikan oleh lingkungan. Baik lingkungan real maupun dunia maya. Tetapi ini hari, kontrol di masyarakat terasa nihil. Cara pandang individualisme telah merasuk begitu kuat. Dengan dalih bukan anak saya, bukan urusan saya, terserah mau melakukan apa saja. Ditambah filter dunia maya hampir tidak kita temukan.
Lemahnya mental generasi yang gampang tersulut emosi oleh karena persoalan sepele membuktikan gagalnya serangkaian pendidikan yang sedang dijalankan baik oleh keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Oleh karenanya rumusan solusi penting untuk segera direaslisasi. Sebagai seorang muslim tentu rujukan yang diambil adalah Islam.
Sistem Islam berpandangan bahwa sistem pendidikan haruslah integral. Dimulai dari pendidikan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Nah ketiganya ini harus ditopang oleh undang-undang yang menerapkan dan menjamin pelaksanaan syariat Islam secara utuh. Wallahu’alam bi ash-showab. (*)
*Penulis Adalah Pendidik Generasi