HUKUM | POLITIK
“Bisa dibayangkan betapa tersebarnya anggaran pendidikan ini. Jadi kalau nanti ada apa-apa misalnya terkait persoalan penyalahgunaan anggaran pendidikan, sebenarnya kesalahan itu bisa dibagi-bagi bukan hanya Kemendikbudristek,”
Jakarta | Lapan6Online : Munculnya protes mahasiswa karena melonjaknya uang kuliah tunggal menciptakan polemik di masyarakat kita selanjutnya memunculkan tanda tanya terkait pengelolaan dan alokasi anggaran 20 persen dari total yang mencapai Rp 665 triliun.
Bagaimana Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Riset dan Tekhnologi mengelolah anggaran sebesar itu sehingga menyebabkan melonjaknya UKT?
Untuk menjawab pertanyaan ini Kemendikbudristek mengungkap, hanya mengelola 15 persen dari total anggaran pendidikan berjumlah Rp 665 triliun.
Menurut kemendikbudristek sebanyak Rp 95,16 triliun atau sekitar 14 persen dialokasikan ke kementerian-kementerian lainnya yang mengadakan kegiatan pendidikan atau sekolah kedinasan.
Misalnya, Kementerian Keuangan dengan STAN, Kementerian Dalam Negeri dengan IPDN, dan Kementerian Perhubungan dengan STIP-nya.
“Porsi terbesar dari 20 persen (anggaran pendidikan) ditransfer langsung ke daerah, jumlahnya 52 persen, yakni Rp346,56 triliun. Jadi Kementerian Keuangan langsung mentransfer ke daerah melalui DAU (dana alokasi umum) dan DAK (dana alokasi khusus), baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, ini berkah dari otonomi daerah,” jelasnya.
Diketahui, SD dan SMP sederajat merupakan di bawah kendali Pemerintah Kabupaten/ Kota, sedangkan SMA sederajat di bawah kendali Pemerintah Provinsi.
Ratusan triliun tersebut dikelola oleh masing-masing pemda. Sedangkan madrasah di bawah wewenang Kemenag. Kemendikbudristek sendiri bertanggung jawab terhadap pengelolaan anggaran untuk perguruan tinggi.
“Bisa dibayangkan betapa tersebarnya anggaran pendidikan ini. Jadi kalau nanti ada apa-apa misalnya terkait persoalan penyalahgunaan anggaran pendidikan, sebenarnya kesalahan itu bisa dibagi-bagi bukan hanya Kemendikbudristek,” tuturnya.
Lantas, Adlan melanjutkan, kaitan dengan UKT yang kini menjadi polemik yang belum usai, sebenarnya pihaknya tidak ingin anggaran yang hanya 15 persen dijadikan sebagai alasan. Namun, kenyataannya anggaran Kemendikbudristek memang minim, menurutnya.
“Kami tidak ingin mengatakan meng-excuse karena anggaran hanya sekian, maka kemudian kami memberikan keleluasaan bagi setiap PTN menaikkan UKT karena anggaran yang kita berikan sangat minim, itu juga bisa dikatakan benar tapi juga tidak speenuhnya benar karena kami ingin supaya penyelenggaran pendidikan tetap berlangsung tanpa mengorbankan kualitas pendidikan,” terangnya.
Selanjutnya Adlan menegaskan bahwa Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri yang dijadikan ‘kambing hitam’ dalam perkara biaya UKT yang tinggi, sebenarnya memberikan otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN BH untuk mencari sumber pendanaan lain.
Hal itu dilakukan atas refleksi diantaranya kondisi anggaran yang dimiliki Kemendikbudristek. Eva Rianti
Sebelumnya, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes menyoroti alokasi anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan.
Fahmi mewanti-wanti agar anggaran itu tidak dialirkan ke hal-hal yang tidak jelas juntrungannya.
“Barangkali perlu kita telusuri dan evaluasi, 20 persen itu tinggi Rp 665 triliun, tetapi kita juga paham bahwa alokasi dana tersebut tersebar ke mana-mana, bahkan alokasi yang diduga dikaitkan dengan pendidikan menjadi sesuatu yang tidak jelas.
Ini barangkali yang harus kita perjuangkan,” kata Fahmy dalam keterangannya, dikutip, pada Senin (20/5/2024).
Sesuai mandatory UUD 1945, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari total APBN 2024 sebanyak Rp 3.325,1 triliun.
Alokasi anggaran itu sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Secara teknis kami meminta Kemendikbudristek untuk merevisi terkait UKT, tapi menurut saya, saya mengajak semua mari perjuangkan agar biaya pendidikan minimal 20 persen ini benar-benar efektif untuk semata-mata pendidikan, bukan dicari-cari jalan yang terkait dengan pendidikan,” jelasnya.
Fahmy lalu mengkritisi, dari jumlah Rp 665 triliun, yang dikelola oleh Kemendikbudristek hanya sebanyak Rp 90 triliun. Antara lain untuk Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sekitar Rp 34 triliun atau hanya sekitar 1 persen saja dari jumlah APBN 2024.
“Lalu kalau dikaitkan dengan anggaran pendidikan yang 20 persen (Rp 665 triliun), sekitar 5 persen, padahal kita memerlukan lulusan sarjana yang lebih bermutu dan lebih banyak. Saya mengajak agar lebih strategis kita harus terus-menerus menyoroti kemana alokasi 20 persen dana pendidikan itu, jangan sampai menyebar tidak efektif,” tegasnya.
Fahmy menegaskan, Komisi X DPR RI bakal terus mengawal masalah biaya UKT tinggi yang saat ini tengah dikeluhkan oleh sebagian besar mahasiswa serta para wali mahasiswa ataupun calon mahasiswa.
Dia pun memastikan bakal terus mendorong Kemendikbudristek agar segera melakukan revisi peraturan terkait yakni Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Fahmy lalu mengkritisi, dari jumlah Rp 665 triliun, yang dikelola oleh Kemendikbudristek hanya sebanyak Rp 90 triliun. Antara lain untuk Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sekitar Rp 34 triliun atau hanya sekitar 1 persen saja dari jumlah APBN 2024. (*BBS/Red)