“Kepemilikan hutan dan lahan yang dimiliki oleh individu termasuk swasta atau pengusaha besar. Buktinya dari data tersangka karhutla yang ditetapkan adalah perusahaan-perusahaan besar bukan warga biasa atau masyarakat pada umumnya,”
Oleh : Rahmi Surainah, M.Pd
Lapan6Online : Kabut asap bermula dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dalam skup yang luas lebih dari puluhan bahkan ratusan hektar. Karhutla berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, sejumlah titik panas ditemukan di Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 513 titik, Kalimantan Barat (384), Kalimantan Selatan (178), Sumatera Selatan (115), Jambi (62), dan Riau sebanyak 58 titik.
Selain itu, asap akibat kebakaran hutan di beberapa titik sudah pada level yang berbahaya. Seperti yang dilansir Mongabay (12/9/2019), kebakaran hutan dan lahan di Riau belum padam, asap makin pekat dan kualitas udara tak sehat bahkan menyentuh level berbahaya. Ratusan ribu warga menderita ISPA.
Penderita ISPA sepanjang 2019 sebanyak 281.626 orang terdampak. Tidak hanya warga, tim penyelamat pemadam kebakaran pun kelelahan memadamkan api dan mulai mengalami penurunan kesehatan setelah lebih dari 100 hari masa pemadaman api. Disampaikan peralatan minim, mereka minta bantuan peralatan dan posko. Posko ini untuk petugas pemadam kala perlu layanan kesehatan dan makanan. ( https://www.mongabay.co.id/2019/09/12/asap-karhutla-selimuti-riau-warga-terserang-ispa-petugas-pemadam-mulai-sakit/)
Kepolisian telah menetapkan 230 orang tersangka karhutla. Rincian para tersangka itu adalah di Riau sebanyak 47 tersangka, Sumatera Selatan 27 tersangka, Jambi 14 orang tersangka, Kalimantan Selatan dua tersangka, Kalimantan Tengah 66 tersangka, Kalimantan Barat 62 tersangka, dan Kalimantan Timur 12 tersangka. Untuk tersangka korporasi belum ada perubahan, masih lima. Lima perusahaan itu adalah PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumatera Selatan, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalimantan Tengah, dan PT SAP dan Sizu di Kalimantan Barat. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190918160820-20-431622/tersangka-karhutla-bertambah-jadi-230-orang)
Upaya Pemerintah Berkutat dalam Teknis dan Pasca
Penulis sebagai warga Kutai Barat, Kaltim yang juga terdampak dalam kabut asap menilai upaya pemerintah dalam hal menangani kabut asap dan mencegah karhutla berkutat dalam perkara teknis. Setelah api dan asap muncul baru terlihat bertindak, sibuk dalam perkara teknis dan pasca terjadi karhutla dan kabut asap.
Padahal, mencegah karhutla dan asap di lapangan bukan hanya perkara teknis tetapi menyangkut paradigma dalam hal urusan kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan yang tidak diambil oleh negara lagi. Kepemilikan hutan dan lahan yang dimiliki oleh individu termasuk swasta atau pengusaha besar. Buktinya dari data tersangka karhutla yang ditetapkan adalah perusahaan-perusahaan besar bukan warga biasa atau masyarakat pada umumnya.
Musim kemarau memang kerap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar dikarenakan lebih efisien dan ekonomis dibandingkan membersihkan lahan dengan menebang dan membersihkan. Tidak sedikit pembakaran lahan terpaksa dilakukan masyarakat karena tingginya biaya hidup dari pada membuka lahan manual dan mekanik, membakar jauh lebih murah dan cepat. Namun, bagi perusahaan besar, konsesi lahan luas yang dikelola demi keuntungan lebih besar maka biaya awal harus ditekan. Salah satunya untuk biaya penyiapan lahan, maka dibakar lebih menguntungkan.
Sebenarnya, faktor kesengajaan manusialah penyebab karhutla dan kabut asap terjadi. Kondisi perekonomian dalam sistem kapitalis yang tabiatnya hanya menginginkan keuntungan besar menjadi mata rantai kerusakan lingkungan. Desakan hidup masyarakat bawah dan keuntungan besar yang diinginkan para kapitalis penyebab pembakaran sengaja jadi pilihan.
Pemerintah yang memfasilitasi kapitalisasi hutan dan lahan gambut berupa pemberian hak konsesi kepada korporasi perusahaan baik kepada kebun kayu atau sawit dan developer ini lebih berbahaya dibandingkan milik masyarakat yang lebih sedikit. Oleh karena itu, tidak bijak juga menyalahkan pihak masyarakat tanpa didukung pemerintah dalam hal bantuan teknik pembukaan lahan.
Misalnya membantu menyediakan layanan berupa alat berat atau teknologi untuk pembukaan lahan, modal pertanian yang terjangkau sehingga petani tidak berat atau banyak modal dalam berkebun.
Sistem Kapitalis Liberal Penyebab Karhutla dan Kabut Asap
Keberpihakkan rezim terhadap korporat begitu besar dengan mengizinkan mereka dalam hal pengelolaan hutan dan lahan membuat mereka bebas sesukanya termasuk membakar. Tidak ada tindakan yang tegas, hanya sekedar ditangkap pelaku lapangan. Andai pemilik lahan atau perusahaan besar tersebut ditangkap, itu pun tanpa mencabut izin penguasaan lahan dan tidak diberi sanksi tegas.
Kesalahan dalam pengelolaan hutan dan lahan, yakni kepemilikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sebagai milik umum. Namun, diserahkan kepada individualis, swasta/perusahaan termasuk pemilik modal inilah yang terjadi dalam penerapan sistem Kapitalisme.
Karakter Kapitalisme yang telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu sebagai premis ekonomi. Sehingga wajar jika dalam pengelolaan hutan hanya dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (Hak Pengusaha Hutan) yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang lebih mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitasdan lingkungan. Ditambah lagi, sistem Kapitalisme juga telah menjadikan para penguasa abai dalam mengurus rakyatnya termasuk dalam menyelesaikan persoalan karhutla dan abut asap. Terbukti, dengan marak dan berulangnya kabut asap di berbagai daerah seolah menunjukkan para penguasa tidak serius dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Solusi atau Paradigma Islam Terhadap Hutan dan Lahan
Solusi Islam dalam mengakhiri dan mencegah karhutla dan kabut asap berawal dari paradigma kepemilikan hutan dan lahan. Islam memiliki beberapa ketentuan dalam pengelolaan hutan dan lahan, di antaranya hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Selain itu, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Dalam kekhilafahan atau pemerintahan Islam fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Dalam hal sanksi/hukum negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Demikianlah ketentuan Islam dalam tata kelola hutan dan lahan untuk mencegah karhutla dan kabut asap. Jika ketentuan ini dilaksanakan tentu saja akan mampu mencegah dan mengatasi karhutla dan kabut asap yang berulang. Penerapan pandangan Islam menjadi kunci solusi agar karhutla dan kabut asap berakhir. Wallahu’alam. GF
*Penulis adalah Alumni Pascasarjana Unlam