“Satu, menolak darurat sipil. Dua, cegah COVID-19 dengan lockdown. Ketiga, penuhi hak hidup rakyat,”
Jakarta, Lapan6online.com : Penetaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai darurat sipil yang dicanagkan Jokowi mendapat penentangan dari banyak pihak. Salah satunya adalah Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule.
Iwan menilai Presiden telah melakukan kesalahan besar dalam penanganan COVID-19 di Indonesia, sebab kebijakan itu bukan saja akan membunuh demokrasi Indonesia tapi dinilai Iwan juga akan membunuh rakyat dengan dalih sedang perang melawan virus corona baru atau Covid-19.
“Pemerintah bukannya cegah penyebaran virus, tapi cegah rakyat bicara,” ujarnya lansir situs politik RMOL, Selasa (31/3/2020).
Karena itu, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) ini menyerukan kembali Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Alasannya, Jokowi tidak memiliki alasan kuat dalam menetapkan status darurat sipil.
“Satu, menolak darurat sipil. Dua, cegah COVID-19 dengan lockdown. Ketiga, penuhi hak hidup rakyat,” tegasnya.
Aturan Darurat Sipil
Darurat sipil sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Disebutkan, darurat sipil diberlakukan jika ada keadaan bahaya atau gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Sementara dalam pasal 3 disebutkan bahwa Presiden sekaligus menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Dalam pelaksanannya, Presiden juga dibantu oleh sejumlah menteri dan TNI/Polri dan diperbolehkan menunjuk pejabat dari sipil jika diperlukan.
Pada pasal 14 disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak melakukan segala hal yang diperlukan. Seperti melakukan penggeledahan di suatu tempat dengan surat pemerintah, baik umum maupun istimewa, sekalipun bertentangan dengan kehendak pemilik atau penghuninya.
Sedangkan pasal 15 memberikan kewenangan kepada Penguasa Darurat Sipil untuk melakukan penyitaan suatu barang yang dianggap menganggu keamanan.
Selain itu, Penguasa Darurat Sipil juga berhak mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan, baik melalui telepon atau radio sebagaimana dalam Pasal 17 ayat (1).
Di ayat (2), bisa diberlakukan pembatasan atau pelarangan kode tertentu, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dar pada bahasa Indonesia.
Sedangkan di ayat (3), menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegrap, pemancar radio.
“Dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut,” demikian bunyi ayat tersebut.
Di pasal 18 ayat (1) disebutkan, bahwa rapat-rapat umum, pertemuan umum dan arak-arakan harus meminta izin lebih dulu kepada Penguasa Darurat Sipil.
Sedangkan di ayat (2), Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memaka gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberap waktu yang tertentu.
Pada pasal pasal 19, Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah dan berhak melakukan pemeriksaan badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai.
(*/RedHuge/Lapan6online)