BUDAYA | PERISTIWA | NUSANTARA
“Melalui prosesi Nyadranan ini kita gunakan sebagai sarana untuk melestarikan, nguri-uri tradisi, adat dan budaya adiluhung yang diwariskan para leluhur kita. Kita pertahankan kearifan lokal dan Nyadranan sebagai sarana memprrerat tali silahturahmi antar warga, “
Lapan6Online | Yogyakarta :Seperti tahun-tahun sebelumnya, secara rutin warga Dusun Ringinsari Maguwoharjp Depok Sleman Yogyakarta, menggelar Nyadran atau Ruwahan di Makam Segaran, pada Minggu (12/03/2023) malam.
Tradisi Nyadran dihadiri segenap warga, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama dan pamong desa.
Tradisi Nyadran yang dilaksanakan sebelum memasuki bulan puasa Ramadan, yakni pada tanggal Jawa 20 Ruwah. Tradisi unik untuk menyambutnya Nyadran ini berupa prosesi ziarah kubur dan Tahlilan atau yang lebih dikenal dengan istilah Kendurian.
Terlebih di Indonesia yang memiliki beragam adat dan budaya sehingga ada banyak pula tradisi dalam menyambut bulan suci akhir bulan ini.
Seperti diketahui, Nyadran adalah sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang pada awal merupakan budaya untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal.
Seiring berjalannya waktu, Nyadran mengalami proses perkembangan hingga menjadi adat dan tradisi hingga saat ini. Nyadran menjadi salah satu tradisi masyarakat Jawa menjelang datangnya bulan Ramadan.
Kata Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu“Sraddha” yang memiliki arti keyakinan. Nyadran juga dikenal dengan sebutan Ruwahan, karena dilakukan pada bulan Ruwah yaitu sebuah bulan dalam penanggalan Jawa yang sama dengan Bulan Sya’ban dalam penanggalan Hijriyah.
Sehingga dalam sejarahnya, tradisi Nyadran ini merupakan sebuah akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Menurut Kaum Dusun (tokoh yang dituakan), Wagimin, prosesi Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, dan juga dijadikan sebagai sarana untuk melestarikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kembul bujono atau makan bersama.
“Melalui prosesi Nyadranan ini kita gunakan sebagai sarana untuk melestarikan, nguri-uri tradisi, adat dan budaya adiluhung yang diwariskan para leluhur kita. Kita pertahankan kearifan lokal dan Nyadranan sebagai sarana memprrerat tali silahturahmi antar warga, “ ujar Wagimin yang dotuakan di Dusun Ringinsari.
Sementara itu menurut penanggung jawab Makam Segaran. Parmin, Nyadran merupakan salah satu tradisi yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha”yang artinya keyakinan.
Tradisi Nyadran merupakan suatu budaya mendoakan leluhur yang sudah meninggal dan seiring berjalannya waktu mengalami proses perkembangan budaya sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya.
“Prosesi Nyadran di Dusun Ringinsari berlangsung rutin setiap tahun tanggal 20 Ruwah dan diikuti beberapa dusun. Kali ini Nyandran dilaksanakan malam hari mengingat cuaca yang cukup panas.
Pesertanya cukup banyak dari Dusun Ringinsari, Karang Ploso, Sambilegi Lor, Nanggulan, Tobong, Ngawen, Gondangan. Mudah-mudahan tahun berikutnya dusun yang lain nantinya ikut serta. Tujuannya ya, mendoakan leluwur kita dan sebagai ajang silahturahim,: ujar Parmin.
Tradisi Nyadran biasanya terdiri dari berbagai kegiatan, yakni ;
– Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Dalam Kegiatan ini masyarakat dan antar keluarga saling bekerjasama gotong-royong untuk membersihkan makam leluhur.
– Kirab, merupakan arak-arakan peserta Nyadran menuju ketempat upacara adat dilangsungkan.
– Ujub, menyampaikan Ujub atau maksud dari serangkaian upacara adat Nyadran oleh Pemangku Adat.
– Doa, Pemangku Adat memimpin kegiatan doa bersama yang ditujukan kepada roh leluhur yang sudah meninggal.
– Kembul Bujono dan Tasyukuran, setelah dilakukan doa bersama kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Masyarakat menggelar Kembul Bujono atau makan bersama dengan setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.
– Makanan yang dibawa berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya. Bahkan, ada yang membawa buah-buahan segar.
Setelah masyarakat telah berkumpul dan membawa kendurinya masing-masing, kemudian makanan yang dibawa diletakkan di depan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat untuk mendapatkan berkah dan kemudian tukar menukar makanan yang tadi dibawa oleh masyarakat.
Untuk mengakhiri acara kemudian masyarakat melakukan makan berasama dengan saling bersendau gurau untuk saling mengakrabkan diri.
Tata cara pelaksanaan tradisi nyadran tidak hanya sekedar ziarah ke makam leluhur tetapi juga terdapat nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, pengorbanan, ekonomi, menjalin silaturahmi, dan saling berbagi antar masyarakat di suatu lingkungan atau sodakoh.
Tradisi Nyadran dilakukan dengan kearifan lokal masing-masing sehingga di beberapa tempat terdapat perbedaan-perbedaan dalam prosesi pelaksanaannya.
Dalam perjalanannya terdapat pengembangan-pengembangan dalam prosesi Nyadran yakni dengan memasukkan unsur-unsur budaya, salah satunya yakni dengan menampilkan bebagai kesenian khas daerah tersebut sebagai unsur pertunjukan. Nyadran termasuk sebagai salah satu tradisi menjelang datangnya bulan Ramadan.
Tampak hadir pada prosesi Nyadran atau Nyadranan, Dukuh Ringinsari, Eman Sulistyo, Dukuh Karang Ploso, Purwanto, Dukuh Sambilegi Lor, Agus. Sementara warga masyarakat dari beberapa dusun memenuhi pelataran jalan Makam Segaran. (*Mastete/Kop/Lpn6)