Tradisi Sungkeman Keluarga Mbah Arjo Siswoyo

0
272
Keluarga Besar Mbah Arjo Siswoyo, warga Dukuh Lokidang, Kec.Karang Sambung,Kab.Kebumen,Jawa Tengah saat menggelar acara Sungkeman, pada Senin (2 Mei 2022)/Foto2 : M.Irfan

PERISTIWA | NUSANTARA

“Bismillahir rahmanir rahim, Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ngaturaken sugeng dinten riyadi 1 syawal 1443 H, Taqabballah minna wa minkum taqabbal ya karim, Kullu amin wa antum bikhoir, Mugi gusti alloh tansah paring hidayah, magfiroh soho barokah, dumateng kito sedoyo, Rahayu ingkang tinemu, sembodo ingkang sinedyo, jumbuh ingkang ginayuh, Wasalamualaikum warohmatullahi wabbarokatuh, Keluarga Besar Mbah Arjo Siswoyo,”

Lapan6OnlineJaTeng | Kebumen : Lapan6OnlineJaTeng | Kebumen : Sungkeman atau sungkem usai melaksanakan ibadah sholat idul fitri menjadi tradisi yang sering kali ditemui di masyarakat. Tradisi yang satu ini kerap dilakukan oleh pihak keluarga yang lebih muda kepada pihak keluarga yang lebih tua atau yang dituakan.Hal ini dilakukan untuk menunjukkan tanda bakti dan rasa terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai dewasa. Lalu bagaimana dasar hukum sungkeman, mari kita simak dari sisi hukum Islam dan tradisi.

Sungkem diawali dengan memprersilahkan anggota keluarga yang lebih tua untuk menempati tempat duduk yang nyaman, kemudian satu persatu anggota keluarga yang lebih muda mulai jongkok dan mencium tangan keluarga yang lebih tua.Hal ini seperti yang dilakukan oleh Keluarga Besar Mbah Arjo Siswoyo, warga Dukuh Lokidang. Dalam acara sungkeman tersebut, selanjutnya Putro wayah (anak cucu, bahasa Jawa,red) Mbah Arjo Siswoyo bersilaturahmi kerumah Mbah Sri Wiyono yang berada di Dukuh Kali Kudu, Kelurahan Kali Gending, Kecamatan Karang Sambung, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.

Dalam setiap tahunnya, pada Hari Raya Idul Fitri keluarga Mbah Arjo Siswoyo menggelar acara sungkeman, dari anak hingga buyut berkumpul jadi satu.Terlebih di Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah ini, setelah selama kurang lebih 3 tahun tidak bisa bertemu muka akibat Covid-19, toh akhirnya keluarga besar Mbah Arjo Siswoyo kembali berkumpul bersama dengan penuh haru, dan tangisan bahagia bersama, setelah menahan rindu mendalam.

Dalam kesempatan tersebut Mbah Arjo Siswoyo mengatakan,”Alhamdulillah…. 3 tahun menanti kedatangan anak-anak, cucu-cucu dan buyut-buyut saya terwujud juga di Lebaran tahun ini (Idul Fitri 1443 H,red). Selesai Sholat Idul Fitri di Masjid Baiturohman yang ada di Dukuh Lokidang, Kelurahan Totogan, Kecamatan Karangsambung, Kebumen, ngumpul bareng di rumah, dan kemudian kerumah anak-anak saya yang lain. Dan ini sudah menjadi tradisi keluarga kami,” ujar Mbah Arjo.Lebih lanjut Mbah Wiyono berpesan,”Dalam kesempatan ini saya mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah dengan adanya silaturahmi momen yang langka setelah 3 tahun tidak bisa berbuat apa-apa, dan intinya sangat membahagiakan semoga tetep terjaga dengan baik setiap regenerasi,” harapnya.

Dan sungkeman adalah tradisi leluhur yang sudah selayaknya dilestarikan. Dengan demikian maka disimpulkan, sungkeman sebagai tradisi yang baik dan bukan yang dilarang, bahkan melestarikan tradisi adalah wujud pengamalan dari sabda Nabi tentang anjuran beretika baik kepada sesama.Sementara itu,jika dilihat dari hukum asal, sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat.

Syariat tidak melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku’.

Berkaitan dengan mencium tangan orang yang lebih tua, al-Imam al-Nawawi mengatakan:
ولا يكره تقبيل اليد لزهد وعلم وكبر سن
“Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua.” (al-Imam al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 10, halaman 233).Bahkan, sebagian wujud takzim kepada orang yang lebih tua, hukum sungkeman ini sunnah.

Seperti dilakukan dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan
: ويسن القيام لمن فيه فضيلة ظاهرة من نحو صلاح أو علم أو ولادة أو ولاية مصحوبة بصيانة
“Sunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak, seperti kesalehan, keilmuan, hubungan melahirkan atau kekuasaan yang dibarengi dengan penjagaan diri.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 4, halaman 219)

(*HRS/M.Irfan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini