Jakarta, Lapan6online.com : Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah hal yang sulit.
“Soal pemakzulan presiden itu sulit. Karena kita tahu, parlemen itu diisi oleh partai-partai koalisi pendukung presiden,” ujar Ujang kepada Wartawan di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Dosen UAI ini menerangkan, isu pemakzulan dalam negara demokrasi itu hal biasa. Apalagi dalam lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
“Isu itu kan rame saat diskusi online tentang pemakzulan presiden dibatalkan. Karena pembicara dan panitianya diancam dibunuh dan lain-lain. Jika ada tokoh seperti Din Syamsuddin menanggapi soal diskusi pemakzulan di kampus UGM yang dibatalkan tersebut itu hak Din Syamsuddin,” paparnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menerangkan, karena diskusi dengan tema pemakzulan presiden di kampus memang tak boleh dilarang. Apalagi sampai diancam-ancam panitia dan nara sumbernya.
“Kebebasan akademik harus dijaga. Dan tak usah takut dengan soal diskusi terkait dengan pemakzulan presiden. Karena kita ini negara demokratis,” pungkas Ujang.
Kurang Bijak
Sebelumnya, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH Ahmad Syafii Maarif menilai, Indonesia saat ini tengah berada di saat yang kurang baik, dimana pandemi Covid-19 masih menjadi momok tersendiri bagi seluruh stakeholder bangsa.
Konsentrasi seluruh elemen bangsa Indonesia saat ini seharusnya difokuskan kepada bagaimana mencari solusi bersama, untuk mengentaskan persoalan pelik tersebut, sembari memberikan keterangan kepada masyarakat agar situasi tetap kondusif.
Menurutnya, di situasi saat ini dirasa kurang bijak ketika ada sekelompok masyarakat yang memanfaatkan situasi untuk membicarakan pemakzulan Presiden. Apalagi menggunakan dalih kebebasan berpendapat untuk membentengi agenda tersebut.
“Amatlah tidak bijak jika ada sekelompok orang berbicara tentang pemakzulan presiden, yang dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas,” kata Buya Syafii Maarif dalam siaran persnya, Senin (1/6/2020).
Ia khawatir, pembahasan yang dinilainya tidak tepat waktunya itu bisa berpotensi menimbulkan gesekan tersendiri di kalangan masyarakat kelas grass root.
“Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita, dan bisa juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat,” ungkapnya.
Hal ini disampaikan Buya Syafii Maarif merespon adanya agenda diskusi yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI).
Di mana dalam diskusi tersebut mengangkat tema “Menyoal kebebasan berpendapat dan konstitusionalitas pemakzulan Presiden di era pandemi Covid-19” dengan menghadirkan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat KH Muhammad Din Syamsuddin, kemudian pakar filsafat Pancasila Prof Suteki, ahli hukum tata negara yang juga mantan komisaris utama PT Pelindo I Refly Harun, guru besar Fakultas Hukum.
Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti, pengurus APHTN-HAN dan dosen STIH Jentera Bivitri Susanti, mantan Wamekum HAM Denny Indrayana dan beberapa tokoh lainnya. (Harianterbit.com)