OPINI | POLITIK
“Ini cukup membuat kita bernafas lega, namun hanya sementara. Sebab, belum tentu untuk tahun depan biaya UKT akan sama seperti tahun ini. Ini dikarenakan kampus yang sudah beralih status dari PTN menjadi PTN BH,”
Oleh : Nurul Fahira
SADARKAH kita bahwa makin kesini, masyarakat makin didesak dengan berbagai macam biaya yang kian melonjak. Pada bulan Mei 2024 lalu, dikabarkan bahwa UKT (Uang Kuliah Tunggal) akan mengalami kenaikan.
Tentu saja ini mengalami respon yang sangat hebat dari semua kalangan, terutama mahasiswa. Bagaimana tidak, biaya UKT yang memang sudah tinggi ini, malah harus semakin dinaikkan pula yang tentunya nanti akan membuat banyak orang tua keberatan akan keputusan tersebut.
Menurut Cnn (06/06/2024), dikatakan bahwa kenaikan drastis yang ditimbulkan atas dampak dari diberlakukannya Permendikbudristek 2/2024 terjadi di hampir seluruh PTN. Bahkan, beberapa saat lalu muncul kabar calon mahasiswa yang harus mengundurkan diri karena tingginya biaya kuliah.
Dan juga, isu kenaikan biaya kuliah pendidikan membuat DPR memanggil Menteri Kemendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim untuk menjelaskan hal tersebut. Nadiem juga dipanggil ke Istana oleh Presiden Joko Widodo. Dikatakan bahwa hasil dari dipanggilnya Nadiem Ke Istana adalah ditundanya kenaikan UKT untuk tahun ini.
Ini cukup membuat kita bernafas lega, namun hanya sementara. Sebab, belum tentu untuk tahun depan biaya UKT akan sama seperti tahun ini. Ini dikarenakan kampus yang sudah beralih status dari PTN menjadi PTN BH.
Jenis perguruan tinggi negeri ini beroperasi dengan cara yang mirip seperti perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, perguruan tinggi memiliki kontrol penuh atas aset dan keuangan mereka sendiri. (Kompas, 15/05/2024).
Hal ini yang menyebabkan kampus mempunyai kewajiban untuk mengelola keuangannya sendiri, karena dari negara sudah tidak membiayai secara sepenuhnya untuk kebutuhan operasional kampus. Inilah mengapa kampus harus memutar otak dan memikirkan bagaimana agar bisa mendapatkan biaya untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Oleh karena itu, kampus mendatangkan investor-investor korporasi yang nantinya akan memberikan dana dan juga tentu ada timbal balik yang kampus berikan.
Dari sini, maka muncullah berbagai macam usaha yang berkembang di dalam kampus, seperti usaha minimarket, restoran, SPBU dan lain sebagainya.
Selain mendatangkan para korporasi, kampus juga mencari cara yang lain untuk mendapatkan “dana”. Yakni, tidak lain adalah dengan dari menaikkan biaya UKT bagi mahasiswa. Memang kenaikan ini menjadi perihal yang dilematis. Mengapa tidak? Sebab jika UKT tidak dinaikkan, kampus juga kesulitan dalam membiayai operasionalnya.
Namun jika UKT dinaikkan, ini menjadi beban yang sangat berat bagi mahasiswanya. Sungguh membingungkan namun inilah realita yang terjadi di negeri ini.
Di sisi yang lain, dampak dari UKT yang dinaikkan ini pula adalah, mahasiswa yang berprestasi namun kekurangan dalam hal ekonomi, akan sulit untuk menempuh jenjang pendidikan di bangku kuliah diakibatkan sulitnya untuk membayar biaya perkuliahan. Padahal kita semua tahu, pendidikan adalah hal dasar yang seharusnya diterima oleh setiap warga negara tanpa terkecuali.
Inilah mengapa kalau bisnis disandingkan dengan pendidikan. Karena yang ada, hasilnya adalah semua yang dilakukan hanya sekedar untuk mencari pundi-pundi rupiah saja, dan mencari keuntungan belaka.
Padahal, yang sudah mengenyam pendidikan tinggi saja, tidak menjamin berkualitasnya pemikiran, sikap dan perilaku dari anak negeri, apalagi yang tidak pernah mendapatkan fasilitas seperti itu? Miris namun inilah pil pahit yang harus kita telan pada saat ini.
Padahal seharusnya pendidikan seharusnya malah diberikan secara gratis oleh negara. Masyarakat tidak dipungut biaya sepeserpun, karena memang ini adalah tugas negara untuk mendidik masyarakatnya agar menjadi pribadi yang berilmu dan bertakwa. Islam mulai dari jauh-jauh hari sudah mengatur tentang hal ini. Makanya tidak terdengar oleh kita, pada saat masa islam tentang UKT elit, pendidikan sulit.
Pendidikan yang menjadi hal dasar bagi masyarakatnya, didapatkan secara adil dan merata serta dijamin oleh masyarakat. Tentunya dengan tidak adanya biaya yang dikeluarkan. Sebab, di daulah islam terdapat yang namanya Baitulmal. Inilah yang membiayai masyarakat akan kebutuhan dasar yang harus diterima oleh masyarakatnya.
Apabila kas Baitulmal tidak cukup untuk membiayai hal tersebut, masih ada sumber pemasukan lain seperti dari pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan ketakwaan, harta rampasan dari perang, pajak yang dikenakan kepada tanah-tanah yang sudah ditaklukkan kaum muslimin, dan lain sebagainya.
Apabila pendapatan dari sana juga tidak cukup, maka akan dibuka infaq dari masyarakat yang mampu untuk menyedekahkan hartanya kepada saudaranya yang kekurangan dana.
Tentunya masyarakat akan tersuasanakan untuk berlomba-lomba berinfaq, karena akan berlimpahnya pahala yang Allah berikan kepada siapapun yang membantu saudaranya. Inilah mengapa, dalam islam tidak akan membebani masyarakat dengan melambungnya biaya yang seharusnya menjadi kewajiban negara dalam melaksanakannya, termasuk dalam aspek mendidik rakyatnya. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswi Psikologi