“Masalah tingginya biaya UKT menjadi seperti agenda tahunan. Memasuki ajaran baru, isu ini selalu naik diiringi dengan kritik dari kalangan mahasiswa namun minim penyelesaian,”
Oleh : Rissa S Mulyana, S.Psi.
BEBERAPA bulan ini, Universitas Indonesia dibuat riuh dengan adanya penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang baru.
Sebelumnya, sistem biaya pendidikan di UI mengikuti dua jenis yaitu Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B) dan Biaya Operasional Pendidikan Pilihan (BOP-P). BOP-B yaitu sistem biaya yang diperuntukkan bagi mahasiswa didasarkan pada penghasilan penanggung biaya pendidikan, sedangkan BOP-P diperuntukkan bagi mahasiswa berdasarkan kemauan membayar.
Namun, sistem pembiayaan yang baru menghilangkan dua jenis sistem tersebut, sehingga dilebur menjadi satu. Hal ini menghasilkan 11 kelas UKT dari mulai Rp 0 – Rp 17.500.000,-. Sayangnya, sistem pembiayaan yang baru tersebut dirasa kurang transparan sebab banyak keluhan berasal dari mahasiswa baru yang merasa besaran UKT yang harus dibayarkan tidak sesuai dengan kemampuan.
Menurut BEM UI (2023), tindakan UI menyalahi prinsip berkeadilan dalam Surat Keputusan Rektor Tahun 2023 No. 402 tentang Biaya Pendidikan, di mana penetapan tarif UKT ditentukan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Dilansir dari akun Instagram BEM UI, terdapat 692 mahasiswa yang mengeluhkan penentuan biaya kuliah tersebut. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada pernyataan resmi dari pihak UI sehingga mahasiswa tetap membayarkan biaya tersebut dengan opsi melakukan cicilan atau mencari beasiswa.
Masalah tingginya biaya UKT menjadi seperti agenda tahunan. Memasuki ajaran baru, isu ini selalu naik diiringi dengan kritik dari kalangan mahasiswa namun minim penyelesaian. Mahasiswa mau tidak mau menerima beban biaya yang melangit sebab telanjur diterima di kampus impian.
Alangkah mirisnya mekanisme pembiayaan pendidikan dalam naungan sistem kapitalisme. Pendidikan menjadi komoditas jasa yang diperjualbelikan sehingga menuntut rakyat untuk membayar sendiri jika ingin mendapatkan kualitas pendidikan mumpuni.
Negara hanya berperan sebagai regulator yang memfasilitasi berbagai pihak untuk, dalam hal ini, universitas untuk mengatur dan menetapkan sendiri biaya operasional pendidikan. Di Indonesia, status perguruan tinggi terbagi menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), PTN BLU (Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum), dan PTN Satker (Perguruan Tinggi Negeri Satuan Kerja).
Beberapa kampus dengan status PTN-BH tidak mendapat subsidi dari negara serta memiliki hak otonom dalam mengelola pembiayaan sehingga kampus perlu mengatur strategi sendiri untuk mendapatkan dana. Salah satu aliran dana ini tentu berasal dari biaya masuk mahasiswa.
Mengingat fakta tersebut, menjadi wajar jika pendidikan dirasa semakin tinggi sebab memang dari awal pendidikan tidak menjadi hajat pokok rakyat yang ditanggung negara, melainkan fasilitas yang perlu diperjuangkan sendiri-sendiri.
Mekanisme tersebut bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan dalam sistem Islam. Islam memiliki pengaturan khas dalam hal sistem pendidikan.
Pertama, Islam menempatkan aktivitas menimba ilmu sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Dengan landasan ini, pendidikan menjadi sebuah kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh setiap muslim. Implikasinya, perlu ada mekanisme yang menjamin setiap orang merasakan pendidikan dengan berbagai sarana dan prasarana terbaik tanpa terkecuali.
Kedua, dari aspek penyedia dan pembiayaan pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh negara. Negara wajib menyediakan perpustakaan, gedung sekolah, perguruan tinggi, balai penelitian, dan sebagainya dengan kualitas terbaik dan merata untuk seluruh rakyat. Pembiayaan pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh negara melalui Baitul Mal dari pos fa’i, kharaj serta pos kepemilikan umum.
Jika pemasukan dari seluruh pos mencukupi, maka negara tidak perlu memungut biaya apapun kepada warganya. Namun bila tidak mencukupi, ada kalanya negara perlu memungut sumbangan sukarela dari kaum muslimin. Mekanisme pembiayaan yang ditanggung oleh negara dilandasi oleh keimanan, sebab dalam sistem Islam, negara berperan sebagai pengurus urusan umat yang tanggung jawabnya langsung di hadapan Allah SWT.
Pendidikan adalah hak segala bangsa. Nampaknya kutipan tersebut belum terlaksana hingga kini jika umat masih terjebak dalam naungan sistem kapitalisme. Pengurusan kebutuhan umat hanya akan terlaksana dengan baik saat mengambil paradigma yang benar, berasal dari Sang Pencipta, yaitu sistem Islam. Saatnya umat menyadari bahwa berbagai kerugian dan kesulitan yang dihadapi saat ini semata-mata karena berpalingnya umat dari aturan Allah SWT. Wallaahu’alam bishawab. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi