UKT Naik Drastis, Pendidikan Tinggi Hanya Mimpi

0
14

OPINI | POLITIK

“Carut marutnya persoalan ini diakibatkan oleh negara yang masih menerapkan sistem kapitalisme liberal yang menjadikan pendidikan sebagai barang komoditas sehingga komersialisasi pendidikan tak terhindari,”

Oleh : Meilani Afifah

POLEMIK naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin memanas. Sampai saat ini persoalan UKT belum menemui penyelesaian. Faktanya sejumlah perguruan tinggi negeri telah menetapkan besaran UKT bagi mahasiswa baru yang mengalami kenaikan berkali lipat dan dianggap tidak wajar.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta contohnya, menaikkan UKT hingga 50%, begitu juga Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Jawa Tengah bahkan menaikkan UKT mencapai 300 hingga 500%.

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan teknologi, Nadiem Makarim saat menghadiri rapat kerja bersama komisi X DPR RI Selasa 21 Mei 2024 lalu, mengatakan: ” Ini kadang masih ada mispersepsi, ini tidak benar. Aturan ini hanya berlaku untuk mahasiswa baru.” (Kontan.co.id, Selasa/21/5/2024).

Hal ini kian membuat gelombang protes para mahasiswa yang tidak menerima kebijakan tersebut. Ditambah dengan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Tjitjih Sri Tjahjandarie yang mengatakan kuliah atau perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier, sehingga pemerintah tidak memprioritaskan anggaran bagi perguruan tinggi.

Penyebab utama naiknya UKT tersebut akibat disahkannya Permendikbud Ristek no 2 tahun 2024 yang memberikan wewenang penuh bagi kampus negeri untuk menetapkan besaran UKT.

Kenaikan UKT tersebut jelas sangat meresahkan dan berakibat fatal bagi masa depan bangsa ini. Dengan kenaikan tersebut jelaslah semakin sulit bagi anak bangsa untuk bisa mengakses pendidikan tinggi yang efek jangka panjangnya adalah negeri ini akan kekurangan generasi terdidik dan ahli yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negara. Imbasnya negeri ini akan semakin terjajah oleh bangsa lain.

Carut marutnya persoalan ini diakibatkan oleh negara yang masih menerapkan sistem kapitalisme liberal yang menjadikan pendidikan sebagai barang komoditas sehingga komersialisasi pendidikan tak terhindari.

Artinya hanya segelintir orang saja yang memiliki uang dan kekuasaan yang bisa mengenyam pendidikan tinggi dan berkualitas sedangkan rakyat miskin akan semakin sulit bahkan hanya mimpi.

Dalam sistem kapitalisme adalah hal mutlak negara lepas tangan dari pembiayaan pendidikan warga negaranya. Hal tersebut terbukti dengan dicabutnya subsidi pendidikan sedikit demi sedikit.

Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan teknologi membeberkan terkait anggaran fungsi pendidikan dari APBN 2024 dari total 665 triliun, Kemendikbud hanya mendapat 98, 9 triliun saja dari seluruh jenjang pendidikan. Artinya Kemendikbud hanya mengelola sekitar 15 ,% saja. (CNBC Indonesia, Selasa/21/5/2024).

Pihak kampus disatu sisi dituntut menghadirkan pendidikan yang unggul dan berkelas dunia, hal ini butuh dana yang sangat besar, sehingga kampus terseok-seok membiayai operasional pendidikan yang tinggi dan berkualitas.

Akhirnya membuat berbagai kebijakan seperti, mencari proyek yang menghasilkan cuan, membuka jalur mandiri yang mahal, membuka program studi baru yang menyesuaikan kebutuhan pasar termasuk menaikkan UKT.

Komersialisasi pendidikan semakin nyata dan terbuka lebar dengan adanya regulasi PTN-BH (perguruan tinggi negeri berbadan hukum). Yakni status PTN untuk mendapatkan otonomi/kemandirian dalam mengelola PT sendiri. Semua akibat sistem kapitalisme liberal yang menjadikan negara lepas tangan sebagai pengurus rakyatnya dengan menjadikan rakyat sebagai beban.

Berbeda dengan sistem Islam, negara adalah pengurus dan pelayan bagi rakyatnya. Negara bertanggung jawab atas seluruh pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang terbuka lebar bagi siapa saja baik kaya maupun miskin, baik muslim maupun non muslim. Ia bisa diakses secara gratis di seluruh jenjang pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi.

Negara juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang memadai mulai dari gedung sekolah, laboratorium, balai balai penelitian, buku buku, perpustakaan, internet dan lain lain.

Selain itu negara juga menghadirkan tenaga pengajar dan gaji yang layak. Hal tersebut dapat terpenuhi dari kas negara Baitul Mal yang diambil dari pos fa’i dan kharaj serta pos kepemilikan umum. Pendidikan unggul dan berkualitas hanya bisa terwujud jika negeri ini mau meninggalkan sistem kapitalisme liberal dan beralih kepada sistem Islam secara kaffah. (**)

*Penulis Adalah Aktifis Dakwah