UKT Naik Mahasiswa Panik?, Kapitalisme Gagal Menjamin Pendiddikan Rakyat!

0
31
Sutiani, A. Md /Foto : Ist.

OPINI | POLITIK

“Pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional,”

Oleh : Sutiani, A. Md

KENAIKAN biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang tinggi tengah ramai dibicarakan, bahkan menuai aksi protes dari para mahasiswa. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat.

Terkait hal ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang kian mahal. Tjitjik menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.

Ia menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Mengenai banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA. (CNBC.Indonesia, 19/05/2024).

Wakil ketua komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, mengungkapkan banyak orang tua tidak melanjuti, mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih dikategori mahal. Dede Yusuf mengungkapkan banyak orang tua tidak melanjuti kuliah sang anak karena terhalang biaya.

Ia pun mengakui biaya mahal tersebut tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah seperti beasiswa dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Alhasil, banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. (kedaipena.com, 30/07/2022).

Konsultan pendidikan dan karier Ina Liem, menyampaikan penyebab mahalnya biaya masuk jalur seleksi mandiri di universitas tersebut karena beberapa universitas negeri tengah didorong untuk berbadan hukum. Makin beratnya beban biaya perguruan tinggi karena komersialisasi pendidikan. (kompas.com, 22/07/2022).

Pasalnya, dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan keuntungan semata, pendidikan dianggap komoditas ekonomi, hal ini pun tertuang dalam pasal 4 ayat (2) huruf UU Perdagangan bahwa jasa Pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan.

Walaupun memang ada pengaturan pendidikan, jasa ini tidak dapat dilepaskan dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional maupun UU No. 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi (UUPT).

Namun, pada hakikatnya potensi materialisme dalam pendidikan sudah nyata terbuka lebar apalagi negara abai seolah lepas dari tanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat sebagai salah satu dampak tata kelola negara kapitalisme yaitu untung rugi menjadi kebijakan penguasa termasuk dalam pembiayaan pendidikan tinggi.

Padahal, Rasulullah yang merupakan sosok suri teladan pemimpin, beliau pernah bersabda:
“Pemimpin setiap manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (h.r. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Negara semboyan pelayan rakyat, alih-alih negara lepas tangan dari kewajiban untuk mengurusi urusan rakyatnya. Ditambah lagi, dalam kehidupan kapitalisme saat ini, kebutuhan yang ditanggungkan pada penghasilan rakyat makin besar seperti, pajak melambung, harga bahan pokok, BBM, gas dan harga tarif listrik kian terjun bebas, tetapi demikian, pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran.

Semua kondisi ini sangat mendorong makin kaburnya pandangan terhadap perguruan tinggi sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan yang telah bergeser pada pandangan keuntungan ekonomi.

Adapun secara ekonomi, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam berikut seluru aturannya yang juga berlandaskan Islam mendapatkan sumber pendapatan negara bagi pembiayaan pendidikan tinggi.

Biaya pendidikan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang diatur oleh Baitul mal. Hakikatnya, pendidikan merupakan kebutuhan primer maka, negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut baik kaya, miskin, muslim, atau non muslim, semua dilayani dan negara memberikan anggaran yang pantas demi kualitas pendidikan tinggi.

Dalam sistem Islam, menetapkan pelayanan seperti pendidikan salah satunya. Tentunya pemenuhan ini membutuhkan dana yang besar. Negara pertama kali mengambil pemasukan dari kepemilikan umum seperti air, api, dan padang rumput yang dikelola oleh negara, sehingga tidak dimiliki individu sedikit pun dan seluruh hasil keuntungan sumber daya alam dialokasikan kepada rakyat seperti memberikan pendanaan untuk pergurua tinggi beserta fasilitas secara gratis guna mewujudkan generasi saleh yaitu para ulama sekaligus para ilmuwan yang bertakwa kepada Allah Swt. dan ilmu yang diperoleh bermanfaat untuk kepentingan masyarakat hingga terciptalah kualitas sumber daya manusia.

Sistem pendidikan Islam berlandaskan akidah Islam pernah terwujud dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam yang terbukti berhasil mencetak ilmuan-ilmuan yang cemerlang. Seperti, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi dan Al-Farabi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bahkan, hasil penemuan mereka di masa lalu masih kita nikmati pengaruhnya hingga hari ini. Tidak akan ada lagi yang berpikir pendidikan hanya untuk mencari uang sebab, untuk menempuh pendidikan pun butuh modal sebagaimana bisnis. Pandangan ini akan hilang melalui diterapkannya pendidikan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah satu-satunya yang mampu memberikan kesempatan seluruh rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Wallahualam bissawab. (**)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah Muslimah