“Gerakan mahasiswa yang berulang-ulang menuntut terkait masalah-masalah yang serupa, sampai sekarang belum pernah menyentuh dan mengatasi akar masalah sehingga masalah-masalah tersebut akan tumbuh kembali dan tak teratasi secara tuntas,”
Oleh : Yusly Aenul Kamaliya
Jakarta | Lapan6Online : Negara didirikan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini membuat di segala keadaan negara harus bertanggung jawab atasnya. Dalam konstitusi tertulis jaminan pendidikan bagi warga negara, namun sikap pemerintah sekarang jauh berbeda dengan apa yang tertulis di konstitusi.
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar tidak bisa dilepaskan dari warga negara karena sifatnya yang termasuk sebagai HAM. Oleh karena itu, kita menyadari pentingnya pendidikan bagi warga negara.
Sejak pandemi ada, tak ada kebijakan bagi pendidikan khususnya biaya pendidikan. Ini berseberangan dengan tujuan pemerintah yakni meningkatkan kualitas SDM. Permendikbud tidak bisa menjawab keadilan bagi peserta didik dan tanggung jawab atas PTS ditanggalkan seolah menganggap tanggung jawab pemerintah hanya pada PTN.
Dengan begitu pemerintah melanggar HAM atas pendidik ataupun peserta didik di PTS. Sebenarnya, tak cukup UKT hanya dengan turun harga, tapi harusnya dihilangkan, agar tujuan pemerintah untuk mencerdaskan bangsa akan terwujud.
Permasalahan dalam kampus juga memperkeruh keadaan. Kampus pun tidak bersahabat dengan mahasiswanya. Tuntutan penurunan biaya pendidikan tidak digubris dan sekalinya mendapat jawaban dari pihak kampus, pihak kampus menyatakan sedang defisit.
Namun ketidaktransparansi akan defisitnya kampus tersebut memunculkan kejanggalan bagi mahasiswa dan dilawan pula dengan kampus yang melakukan kekerasan intimidatif dengan menyatakan pihak kampuslah yang lebih mengetahui dan paling tahu dari mahasiswa. Padahal setiap mahasiswa berhak mengetahui hulu hilir dari biaya pendidikan sendiri.
Keadaan ekonomi Indonesia yang sedang lesu nyatanya tidak dipedulikan oleh pihak kampus untuk melakukan peringanan biaya pendidikan atau UKT untuk semua kalangan mahasiswa yakni S1, S2, maupun S3. Hal ini jelas-jelas mengaburkan tujuan dan kewajiban pemerintah yang sudah disebutkan di awal.
Keterangan mengenai UKT tak ada kenaikan oleh Kemendikbud bukanlah jawaban atas keresahan yang ada saat ini. Namun penurunan hingga pembebasan biaya UKT-lah yang idam-idamkan karena desakan kebutuhan hidup lain yang harus dipenuhi di tengah pandemi.
Gerakan mahasiswa yang berulang-ulang menuntut terkait masalah-masalah yang serupa, sampai sekarang belum pernah menyentuh dan mengatasi akar masalah sehingga masalah-masalah tersebut akan tumbuh kembali dan tak teratasi secara tuntas. Bisa dibilang hal ini merupakan kerugian bagi mahasiswa sendiri karena berulang-ulang mengatasi masalah yang sama.
Hal yang perlu diatasi sebenarnya adalah mencabut akar masalah tersebut agar tidak berulang yakni dengan pergantian birokrasi dan kepalanya dengan tentu harus dikawal terus menerus agar tercipta birokrasi yang transparan dan ramah mahasiswa.
Dalam mewujudkan birokrasi yang bersahabat tentunya harus juga memeriksa kembali sistem apa yang diterapkan dalam menjalankan birokrasi tersebut. Apakah sistem yang mendukung atau malah yang menyulitkan.
Melihat sistem yang dijalankan dewasa ini ketidakmungkinan untuk menciptakan birokrasi yang diidam-idamkan. Di mana sistem yang dijalankan sekarang sangat mendukung adanya kapitalisasi dalam segala bidang termasuk bidang pendidikan sehingga terjadilah kontras antara peraturan tertulis dan pengaplikasiannya.
Penerapan sistem yang teguh menerapkan peraturan dan pengaplikasiannya adalah Islam. Telah tertulis dalam sejarah bagaimana kondisi kehidupan saat Islam menjadi poros kehidupan.
Dalam sistem hukumnya, status warga negara yang sangat dijamin hak dan kewajibannya membuat siapapun tidak bisa melanggarnya. Dengan didukung berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan sebagai usaha membentuk individu dan umat berkualitas sesuai dengan misi penciptaan. ****
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia