“Mereka yang meraup suara terbanyak perlu melakukan kampanye secara masif. Ini memerlukan tidak sedikit modal dan tidak mungkin bersumber dari kantong pribadi saja tetapi tentu saja ini perlu kucuran dana dari partai dan pemilik modal,”
Oleh : Vitriastuti S.Si
Jakarta | Lapan6Online : Tak satu pun ahli menyatakan bahwa pandemi ini segera berakhir mengingat semakin melonjaknya jumlah pasien yang positif virus corona disertai menurunya daya tahan masyarakat dalam hal ekonomi.
Namun, pemerintah akan tetap melaksanakan pemilu dalam keadaan yang tidak nyaman seperti ini.
Mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020, Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020. (suara.com, 9/6/2020).
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 akan digelar 9 Desember mendatang memerlukan tambahan anggaran dari Rp 2,5 hingga Rp 5,6 triliun.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan tambahan anggaran ini diperlukan untuk penerapan protokol kesehatan karena pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19.
Dalam kondisi penuh ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa pandemi gelombang kedua yang sekarang dialami Tiongkok dan Korea Selatan tidak terjadi di Indonesia.
Seolah alasannya untuk memenuhi hak masyarakat dalam memilih pemimpin yang bertanggung jawab sangat dibutuhkan dalam percepatan penanganan corona di daerah, menjadi pembenaran untuk tetap melanjutkan penyelanggaran Pilkada 2020.
Pemerintah sepertinya tutup mata dengan kondisi saat ini bahkan tampak aneh ketika ngotot ingin tetap menggelar pilkada walaupun akan membahayakan banyak nyawa manusia.
Tapi inilah buah dari sistem kapitalisme yang di terapkan negeri ini. Untuk mendapatkan kekuasaan di negeri ini diraih berdasarkan suara terbanyak dengan dalih suara terbanyak dapat mewakili harapan dan tujuan yang lebih baik di masa depan untuk rakyat.
Tapi rakyat mana yang dimaksud? Mereka adalah sekumpulan kecil pemilik modal (para kapitalis).
Sejatinya mereka yang meraup suara terbanyak perlu melakukan kampanye secara masif. Ini memerlukan tidak sedikit modal dan tidak mungkin bersumber dari kantong pribadi saja tetapi tentu saja ini perlu kucuran dana dari partai dan pemilik modal.
Sehingga tak heran keluarnya kebijakan -kebijakan dari pemimpin tepilih cenderung menguntungkan bisnis para kapitalis. Masa dan jabatan menjadikan mereka lebih fokus untuk mengembalikan modal selain mempertahankan dan mengamankan kekuasaannya.
Dengan begitu terjadilah pemerintahan yang dijalankan dan diatur oleh segelintir orang yang mememntingkan diri sendiri dan golongan dengan mengabaikan kepentingan rakyat.
Sejatinya pemerintah tidak terburu buru dalam memutuskan penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 ini mengingat bahwa kasus penyebaran virus ini masih berlangsung bahkan kurva positif virus covid-19 setiap harinya semakin meningkat walaupun pemerintah sudah menetapkan era New Normal.
Inilah akibat jika suatu negara menganut sistem kapitalisme, yang kurang mementingkan kepentingan rakyat dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya.
Justru dengan kondisi ini penguasa yang yang katanya berdaulat ini lebih mementingkan kepentingan golongan tertentu dan memuaskan hasratnya.
Islam mengatur segala aspek kehidupan dengan sempurna dan paripurna termasuk dalam hal politik atau ketatanegaraan.
Jika dalam hal ini islam diterapkan tidak akan mengorbankan rakyat demi ‘kepentingannya’ semata.
Pemimpin dan wakil-wakil rakyat seharusnya lebih bersikap bijaksana dan rasional dalam memutuskan suatu hal apalagi saat situasi pandemi yang sangat memprihatinkan.
Memang satu satunya solusi adalah dengan menerapkan islam secara total dan yang jelas akan mengatur suatu negara dengan adil dan bijaksana.
Islam is a system of government that is peaceful, prosperous and islam is the solution. GF/RIN