OPINI
“Bahkan utang yang kembali ditarik oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi anjloknya ekonomi akibat pandemi Covid-19, sempat menuai beragam kritik dari beberapa ekonom,”
Oleh : Suci Wulandari
Lapan6Online | Jakarta : Pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir hingga saat ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan sebagai akibat dari naiknya belanja negara.
Bahkan anjloknya ekonomi akibat pandemi ini juga dikatakan sebagai penyebab naiknya “prestasi” Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk ke dalam daftar 10 besar negara dengan utang terbesar di dunia, karena pemerintah harus mengeluarkan belanja negara lebih besar dari pendapatannya, sehingga APBN mengalami defisit lebih dari 3%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020.
Per Oktober 2020, Utang Luar Negeri Indonesia sudah hampir mencapai angak 6.000 triliun dan berada pada peringkat ke 6 dari 10 negara dengan utang terbesar di dunia.
Sebelumnya, untuk mengatasi lonjakan defisit APBN 2020 diakibatkan pandemi Covid-19. Bank Indonesia sempat melakukan skema berbagi beban atau biasa disebut dengan kebijakan Burden Sharing yakni dengan ditandatanganinya dua jenis Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Gubernur BI dan menteri keuangan, dimana dalam SKB I memperbolehkan BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana, lalu SKB II pemerintah dan BI akan membagi beban pembiayaan berdasarkan kelompok barang publik dan non publik. Maka, utang luar negeri melangit, benarkah demi selamat dari Covid?
Melihat rangkuman kondisi tersebut, terlihat bahwa pemerintah Indonesia sangat terseok-seok menangani lebarnya belanja negara di tengah pandemi Covid-19. Parahnya, solusi satu-satunya yang dianggap mampu untuk membantu menambal APBN hanya dari utang luar negeri saja.
Utang Luar Negeri memang terkesan solutif jika kita hanya melihat solusi tersebut dalam rentang waktu yang pendek. Namun, lain halnya jika kita bicara dampak dalam jangka waktu yang panjang. Utang Luar Negeri ini bukan hanya sekadar utang yang bisa selesai hanya dengan membayar pokok, otomatis akan memunculkan utang bunga pinjaman yang juga harus dilunasi.
Sehingga, bukan menjadi solutif, tapi justru malah menjadi bomerang, Indonesia semakin menceburkan diri ke dalam bayang-bayang Utang Luar Negeri dan bunga pinjamannya. Belum lagi dampak politis yang akan diterima oleh pemerintah Indonesia dari negara kreditor dengan adanya beban utang luar negeri tersebut (Independensi).
Pemerintah pun pasti tidak akan diam saja, tenaga ekstra juga pasti harus segera dikerahkan kembali dalam rangka memutar kembali otak bagaimana cara selanjutnya agar pendapatan negara bisa menutup kembali defisit yang sudah terlanjur melebar tadi.
Salah satu pendapatan negara yang berasal dari rakyat adalah pajak, tidak menutup kemungkinan itu akan menjadi sumber pendapatan negara yang akan dimaksimalkan juga oleh negara dalam rangka mengoptimalkan pemasukannya dan rakyat yang kembali menjadi korban.
Ketidakefektifan Utang Sebagai Strategi Penambal Jebolnya APBN
Utang bagi Indonesia bukan menjadi barang yang baru-baru ini saja menjadi masalah, tidak kaget sebetulnya Utang Luar Negeri semakin melonjak naik.
Hal ini dikarenakan pemerintah masih menganggap utang menjadi satu-satunya solusi alternatif yang bisa mengatasi defisit APBN. Yang terjadi adalah pemerintah akan memunculkan utang baru, guna menutupi defisitnya anggaran yang juga dikarenakan adanya pelunasan utang sebelumnya yang sudah lama terjadi. Gali lubang untuk menutupi lubang yang lama.
Bahkan banyak ekonom yang mengatakan bahwasanya Indonesia sulit untuk keluar dari kondisi terjerat utang (Debt Trap) dan bahkan terjebak dalam kondisi Fisher’s Paradox yakni semakin besar utang luar negeri yang dibayar, akan semakin besar juga akumulasi utang Indonesia.
Selain itu, setiap kali ada musibah yang menimpa Indonesia, pasti akan memunculkan utang yang baru. Ini tidak lain sama saja dengan menyelesaikan musibah dengan musibah lagi, tidak solutif. Bahkan utang yang kembali ditarik oleh pemerintah Indonesia untuk menanggulangi anjloknya ekonomi akibat pandemi Covid-19, sempat menuai beragam kritik dari beberapa ekonom, karena akan menyumbangkan beban yang semakin berat bagi bangsa.
Pengelolaan belanja negara yang tidak diatur pos-posnya pun mengakibatkan seluruh belanja negara dibiayai dengan seluruh pos-pos pendapatan yang ada. Sehingga yang dimaksimalkan oleh pemerintah hanya bagaimana agar anggaran ini bisa diselesaikan saja.
Bahkan di akhir periode anggaran, jika ada anggaran belanja yang belum dilakukan, hal tersebut harus segera dilakukan, yang penting di akhir periode anggaran, semuanya harus habis.
Hal ini dinilai oleh penulis sebagai pemborosan, karena negara terkesan tidak bisa memilah mana belanja yang harus diprioritaskan dan dihematkan serta mana sumber pendapatan yang akan digunakan untuk mendanai belanja negara tersebut.
APBN Khilafah Menjadi Solusi atas APBN Ala Kapitalisme
Kondisi ini tidak lepas dari peran sistem ekonomi kapitalisme yang dalam penyusunan anggarannya hanya menitikberatkan pada penerimaan berbasis pajak dan utang. Selama ini penerimaan pajak tidak mampu menutupi total belanja negara, lalu untuk menambal semuanya, dilakukanlah utang. Tidak peduli apakah itu akan mempertaruhkan kedaulatan negara atau tidak.
Selain itu kekayaan alam dalam negeri yang melimpah ruah dalam rangka pengelolaannya tidak memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat yang hidup di dalamnya, yang ironisnya semakin besarnya utang negara, akan semakin besar juga beban masing-masing individu rakyatnya.
Berbeda dengan APBN khilafah, dalam rangka mengatasi defisit anggaran ada tiga cara yang bisa ditempuh yakni: Pertama, meningkatkan pendapatan. Empat cara yang dilakukan di antaranya mengelola harta milik negara, melakukan hima pada sebagian harta milik umum (pengkhususan oleh khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus), menarik pajak (daribah) sesuai dengan ketentuan syariah dan mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Kedua, menghemat pengeluaran yang tidak mendesak. Ketiga, berutang sesuai dengan ketentuan syariah, yakni dengan syarat tidak mengambil utang luar negeri atau lembaga luar negeri yang mengandung unsur ribawi dan mengikis kedaulatan negara. Berutang juga menjadi cara paling terakhir yang akan dilakukan jika khawatir munculnya bahaya jika tidak lagi adanya dana tersedia di baitul mal dan hanya digunakan khusus untuk nafqah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah, membayar gaji untuk orang-orang yang telah memberikan jasa kepada negara, dan membiaya peristiwa-peristiwa luar biasa.
Dari penjelasan basis APBN khilafah tersebut, terlihat jelas bahwa pos-pos belanja negara dibiayai oleh pos-pos pendapatan tertentu, dalam arti pendapatan tidak dijadikan satu untuk membiayai semua pengeluaran, melainkan ada pasangannya antara pendapatan dan belanja negara tertentu. Sehingga terlihat jelas mana saja pendapatan yang boleh digunakan dan mana yang tidak boleh.
Selain itu meskipun berutang sama-sama menjadi poin solusi dalam rangka menambal jebolnya APBN negara, APBN khilafah tidak akan pernah berutang dengan skema ribawi melainkan ada syarat-syarat syar’i yang harus dipenuhi dalam rangka melakukan pinjaman. Sedangkan pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh APBN ala kapitalisme hanya bertumpu pada besar-kecilnya bunga yang akan diberikan oleh negara kreditor.
Pengelolaan kekayaan alam di dalam APBN khilafah juga menjadi salah satu hal utama dalam rangka mengoptimalkan pemasukan negara, karena kedaulatan negara berada di tangan negara secara penuh. Sehingga tersebar secara merata dan dinikmati oleh rakyat.
Sedangkan dalam APBN ala kapitalisme, pengelolaan kekayaan alam negara tidak dijadikan poin utama yang kekuasaannya berada ditangan negara sepenuhnya —hal ini yang akan menjadikan salah satu pos penerimaan negara akan paling banyak berasal dari hasil pengelolaan kekayaan alam yang benar, efisien dan efektif—. Dalam APBN ala kapitalisme, kekuasaan atas kekayaan alam diserahkan kepada individu bahkan korporasi, sehingga manfaatnya hanya dirasakan hanya oleh para pemilik modal saja, bukan untuk rakyat. [*]
*Penulis Adalah Alumni Politeknik Negeri Jakarta