Virus China dan Doa Habib Rizieq

0
97

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, (*)

Lapan6online.com : TRUMP telah mendapat kecaman berbagai pihak sejak dia mengganti nama coronavirus atau Covid-19 dengan virus China (Chinese Virus). Trump pada 16 Maret lalu merespons tuduhan China bahwa tentara Amerika yang meletakkan virus corona itu di Wuhan, China. Pernyataan konspiratif ini diangkat media seperti CNN. Lalu di Tweeter-nya Trump menggelar istilah virus China itu.

Trump menyatakan bahwa selama dia menjadi presiden Amerika, dia tidak akan menggantikan istilah virus China itu, meski dikecam. Sebab, dia tidak terima China melemparkan tuduhan ke Amerika, bukannya China merasa bertanggung jawab atas seluruh kehancuran dunia, akibat wabah yang mereka bawa.

Perang Amerika vs China soal tanggungjawab besar atas wabah ini tidak mengubah situasi buruk dimanapun, termasuk di Indonesia.

Berbagai negara di dunia telah merana dan kewalahan mengatasi wabah virus ini. Pemerintah Belanda, misalnya, telah melakukan imunisasi paruparu bagi semua perawat, dokter dan pekerja rumah sakit. Imunisasi ini bagian dari strategi Belanda mengambil jalan “hidup bersama virus” itu.

Negara-negara yang kebanyakan melakukan “Lockdown”, telah membelanjakan uang yang cukup besar untuk mensubsisdi daya beli masyarakatnya, selain urusan penyediaan makanan dan fasilitas kesehatan. Lockdown juga memberi konsekuensi pengerahan ratusan ribu tentara dan polisi, seperti di Prancis dan Italia.

Hidup bersama virus pada akhirnya adalah jalan akhir dari wabah ini. Strategi Lockdown akan membatasi penyebaran virus. Namun ketika Lockdown berakhir, virus sudah diudara dan bermutasi menjadi lebih ganas. Strategi Lockdown hanya bisa berguna mungkin kalau vaksin dapat lebih cepat disediakan oleh negara maju.

Jika vaksin masih setahunan lagi dapat disediakan, maka sekali lagi, manusia-manusia yang tidak immun akan diserang oleh virus-virus itu.

Strategi Belanda atau “Dutch Way” dalam ulasan saya kemarin adalah berasumsi virus akan bermutasi dan vaksin tidak ditemukan dalam waktu cepat. Lalu mereka mungkin terinspirasi dengan pikiran Club of Rome dan Survival of The Fittes.

Pikiran ini mengutarakan hukum pertumbuhan penduduk dan kematian bagi yang lemah. Dalam konteks Coronavirus juga ke depan yang kuat bertahan dan yang lemah mati. Maka bagi Belanda strategi yang dipilih adalah memperkuat immunitas rakyatnya.

Mertua saya, di pinggiran pantai utara Noordwijk, Belanda, menangis mengetahui kematian mereka semakin dekat. Karena umur mereka 80 dan 77 tahun, tidak masuk dalam penguatan immunitas. Namun, air mata mereka tidak terhubung dengan Tuhan YME, karena mereka sejak tahun 60-an lebih percaya akal dibanding Tuhan (10 tahun lalu mertua saya memberikan buku Theory of Everything dari Stephen Hawking yang berisi Tuhan tidak ada).

Lalu Bagaimana Kita Di Indonesia?

Jika Belanda melakukan strategi hidup dengan virus, Indonesia terkesan gagap tanpa strategi. Terakhir antara pemerintah ribut sendiri, apakah kedatangan 47 tenaga kerja China ke Kendari layak atau tidak? Sah atau tidak? Perlu dikarantina atau tidak?

Bahkan penyebar video sebagai sumber informasi penting kisah kedatangan tenaga kerja dari negara sumber virus ditangkap polisi. Untung Gubernur Sultra dan semua rakyat tidak terima dengan tindakan polisi menangkap orang mulia pembawa informasi itu.

Anies Baswedan sendiri, ketika berusaha melakukan pencegahan penyebaran virus, yang bahkan belum mengarah ke Lockdown, sudah mendapat kecaman kelompok tertentu. Ketika Presiden Jokowi mengapresiasi langkah Anies Bawedan, tentu Anies semakin yakin atas kerjanya membuat sebaran informasi terbuka perkembangan orang-orang yang terinfeksi dan dalam pengawasan. Lalu Anies meliburkan sekolah. Lalu Anies membatasi transportasi publik.

Sayangnya berbagai langkah ini dikecam pembenci-pembenci Anies. Karena pecah belah pascapilpres masih kental.

Ketidakjelasan strategi ke depan, yang diperlihatkan dengan langkah-langkah sporadis, baik terkait pencegahan penyebaran virus maupun dampak ekonominya, membuat rakyat terpaksa berikhtiar sendiri.

Ikhtiar mencari masker gagal, karena ternyata masker sudah di ekspor sebanyak-banyaknya ke China, Hong Kong, dan Singapura. Ikhtiar mencari disinfectant pembersih tangan, dilakukan ibu-ibu arisan dengan mencampur alkohol 70 persen dan zat lainnya.

Dalam ikhtiar ini, masyarakat belum memahami batas maksimum semangat mereka menghadapi musibah ini. Pemerintah melalui Jubir Penanggulangan Covid-19 mengatakan bahwa tracing korban baru membaik saat ini, setelah lebih dua minggu dari korban pertama diketahui. Artinya akan ada informasi terinfeksi dan suspect dalam jumlah yang terus berkali lipat.

Pentingnya Habib Rizieq

Ketidakjelasan penangan wabah dan seberapa dahsyat dampaknya ke depan menghantui kita semua. Di Belanda, negara-negara barat dan China, yang tidak percaya Tuhan, wabah dan kematian adalah soal matematika dan logika.

Di Indonesia, sebagai negara beragama, mayoritas Muslim, kita percaya kekuatan ilahiah. Meski tentu saja kekuatan doa, misalnya, bukan diletakkan di awal, melainkan di akhir setelah ada usaha.

Di Indonesia orang-orang sudah berdebat hukum wajib shalat Jumat dan shalat berjamaah; juga tentang apakah mati karena wabah masuk surga alias syahid; atau bagaimana hukum menghindari wabah, sebagaimana ajaran Rasulullah.

Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, di Medsos, dan Gubernur Sumatera Utara misalnya meminta umat Islam tidak meninggalkan masjid. Majelis taklim di Sulawesi Selatan diberitakan tetap menggelar istighosah akbar. Namun, beberapa masjid, sudah meniadakan shalat Jumat, membuat shalat berjamaah berjarak 1 meter (kewajiban Islam harusnya merapatkan), mencabut karpet-karpet masjid, dll.

Simpang siur kehidupan agama saat ini cukup meresahkan. Menambah kefrustrasian isu wabah semula. Di situlah pentingnya seorang ulama besar seperti Habib Rizieq Sihab menuntun umat Islam di Indonesia. Mereka saat ini sudah dalam keadaan kebingungan. Apalagi bulan Ramadhan sudah di depan mata.

Kepentingan kedua kita terhadap Habib Rizieq adalah untuk memohon kepada Allah agar Allah tidak memberikan wabah ini sebagai balasan atas “pengusiran” Habib Rizieq dari Indonesia.

Mengaitkan wabah dengan azab Allah kelihatannya tidak rasional. Namun, Islam juga mengajarkan “beyond rationality”. Jika kita melihat semua fenomena rasional tidak bisa lagi menjelaskan, kita berharap kekuasaan di atas pikiran manusia lah yang bisa menjawab.

Bagaimana penjelasan atas uraian di atas? Saya misalnya bisa melihat rasionalitas dari strategi Belanda dalam menantang virus. Mereka seperti orang-orang “Viking” yang gagah berani. Strategi mereka dikatakan strategi karena mempunyai langkah terukur.

Jika di Indonesia kita masih membebaskan orang-orang RRC datang kemari dan baru mengetahui eks karyawan Telkom positif corona, 12 hari setelah dinyatakan negatif, maka kita adalah bangsa tanpa strategi jelas. Tanpa rasionalitas.

Situasi tanpa rasionalitas dapat juga menunjukkan kemampuan kita untuk rasional sudah hancur. Ini dalam agama dapat dikaitkan dengan hukuman Allah. Allah tidak lagi membuat akal dan jiwa kita “hidup”. Sehingga, akhirnya kita harus berserah diri pada Allah tersebut.

Dengan situasi “survival of the fittes” seperti pembiaran, maka nasib rakyat tidak lagi bisa dipercayakan pada negara. Namun, rakyat bisa apa? Kecuali doa dan doa. Doa meminta ampun karena membiarkan para ulama kita dizalimi, misalnya. Dan doa lainnya.

Pentingnya ketiga soal Habib Rizieq adalah untuk meminta petunjuk soal pertentangan sosial (divided society) saat ini. Dalam situasi wabah dan krisis ekonomi total saat ini, maka persatuan nasional harus menjadi landasan utama.

Situasi sama ketika kita rujuk pada kasus Aceh Merdeka. Ketika Tsunami di Aceh, 2004-2005, permusuhan rakyat Aceh pro-Merdeka dan pro-NKRI berakhir. Dan Aceh membangun kembali secara bersama-sama.

Penutup

Berbagai negara maju telah berikhtiar mencari jalan menghadapi wabah virus corona ini. Presiden Trump meminta China bertanggung jawab atas wabah ini, karena menghancurkan seluruh hidup dunia. Trump menjuluki virus corona ini dengan Virus China.

Ikhtiar mengatasi pandemik Covid-19 ini di Indonesia kita tengarai tanpa strategi yang pasti. Sehingga kita harus berasumsi tingkat keparahan ke depan tidak mampu kita bayangkan betapa besarnya.

Wabah ini sudah menjadi persoalan agama, baik karena berbagai urusan agama diperdebatkan. Seperti boleh tidaknya meniadakan shalat Jumat, menjarakkan satu atau dua meter shalat berjamaah, membatasi keramaian majelis taklim, dll.

Persoalan agama lainnya adalah apakah wabah ini sebagai murka Allah kepada kita, karena kita banyak menjalimi ulama selama ini?

Sebab, dalam spirit rasionalitas, negara-negara lain mempunyai langkah terukur dan sistematis melawan wabah tersebut, sedangkan kita seperti tak mampu.

Jika kita tidak mampu maka kita harus mengaitkan situasi ini dengan kepasrahan dan takdir Allah. Dan disitulah kita harus bertanya pada Allah Tuhan YME, seperti lagu Ebiet G. Ade “Mungkin Tuhan Mulai Bosan Melihat Tingkah Kita Yang Selalu Salah dan Bangga Atas Dosa-Dosa”.

Salah satu yang Allah murka mungkin sikap kita yang mengasingkan Habib Rizieq bertahun-tahun.

Mudah-mudahan dengan meminta ampun kepada Allah dan meminta doa Habib Rizieq dan para ulama-ulama besar, kita bisa terhidar atau terkurangi dari bencana ini. (*)

*Sumber Publish: Gelora.co

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini