Penulis: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan SH MH (Direktur HRS Center)
Lapan6online.com : Pancasila berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm, norma dasar bagi pembentukan konstitusi. Dengan demikian, keberadaannya sebagai syarat bagi berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP), maka menimbulkan pertanyaan serius.
KeberadaanPancasila sebagai norma dasar – syarat berlakunya UUD 1945 – kini justru hendak dirumuskan dalam undang-undang. Padahal undang-undang harus mengacu kepada UUD 1945 yang notabene kandungannya berisikan nilai-nilah falsafah Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak lagi menjadi norma dasar, sebab telah dipositifkan dalam undang-undang. Dapat dikatakan, Pancasila sebagai ”bintang pemandu” tereduksi dengan penafsiran sepihak penguasa.
Terlebih lagi diketahui bahwa kebijakan pembangunan nasional tidak pula menyebutkan pembangunan di bidang agama, hanya disebutkan: politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional tidak menyentuh kepentingan agama. Bahkan disebutkan, yang menjadi landasannya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan Umum
Selengkapnya, dapat dilihat pada ketentuan umum RUU HIP, “Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.” (Draf RUU 20 April 2020).
Hanya Simbol
Penyebutan “ilmu pengetahuan dan teknologi” sebagai landasan Haluan Ideologi Pancasila jelas mengasingkan peranan agama Islam. Di sini terkonfirmasi, agama Islam ditempatkan hanya sebagai simbol, demikian pula Pancasila. Terkait dengan hal ini, Husaini mengatakan dalam struktur ilmu pengetahuan terdapat hierarki ilmu pengetahuan. Pada lapisan atas terdapat ilmu-ilmu Ketuhanan melalui ilmu agama (baca: Islam), dan pada lapisan kedua terdapat ilmu duniawi. Pada inti keilmuan terdapat asas kemanfaatan ilmu.
Ilmu pengetahuan mencoba untuk menerangkan eksistensi Allah SWT sebagai ilmu pengetahuan yang pertama. Menjelaskan hubungan (koneksitas) antara diri manusia dan Allah SWT. Ilmu pengetahuan pada lapisan kedua mampu membingungkan manusia, apabila tidak didukung dengan ilmu pengetahuan pertama. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan kedua selalu terikat dan bergantung pada ilmu pengetahuan yang pertama. (Adian Husaini : 2013).
Frasa ”berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi” merupakan paradigma sekularistik. Suatu paham/ajaran yang memisahkan kepentingan negara dan agama. Padahal, Indonesia didirikan berdasarkan pada nilai-nilai tauhid, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana dimaksudkan Pasal 29 (1) UUD 1945. Ternyata apa yang diprediksi oleh Selo Sumardjan, Indonesia akan mengalami sekularisasi benar-benar terwujud.
Dikatakan olehnya, dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses industrialisasi akan menyebabkan peranan agama tereduksi dalam proses-proses pengambilan keputusan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Tegasnya, dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi akan menggeser pertimbangan-pertimbangan agama dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan sosial. (Kuntowijoyo : 2008).
Penolakan
Sekularisme terkait dengan “neo-feodalisme” yang terhubung dengan “neo-liberalisme/kapitalisme” dan neo-sosialisme/komunisme. Oleh karena itu, penolakan terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila merupakan bentuk kekhawatiran bangkitnya kembali komunisme di Indonesia. Kekhawatiran tersebut menunjuk pada ketiadaan pencantuman TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Terlebih lagi, pada saat ini ideologi komunis – yang ‘berbaju’ liberalis – menjadi ancaman tersendiri. Berpotensi memengaruhi arah kebijakan pembangunan nasional.
Ancaman menunjuk geostrategi Tiongkok guna penguasaan atas ‘ruang hidup’ (lebensraum), tidak terkecuali terhadap Indonesia. Geostrategi dimaksud mengandung ancaman ‘nir-militer’ yang bersifat laten (asimetris). Kondisi ini sepatutnya diwaspadai. Dalil, “ideologi tidak akan pernah mati dan pada saatnya bangkit kembali”, tidak dapat dipungkiri.
Membuka lebensraum, maka itu berarti sama saja menjerumuskan Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara yang berdasarkan falsafah Pancasila ke dalam pusaran bahaya.. Jakarta, 18 Mei 2020. (*)