Visi Misi Akhirat Lebih Penting Dibanding Penampilan

0
97
Retno Purwaningtias/Foto : Ist.
“Hal ini yang membedakannya dengan hukum-hukum ala kapitalis dan semokrasi yang dibuat oleh manusia. Jika hukum-hukum yang dibuat oleh manusia seringkali adanya amandemen dan revisi, dan gagal mencapai tujuan mensejahterakan rakyatnya,”

Oleh : Retno Purwaningtias

Jakarta | Lapan6Online : Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru saja selesai menerima berkas-berkas persyaratan calon walikota dan wakil walikota Medan beberapa minggu lalu. Tibalah saatnya para bapaslon menjalani tes psikologi sebagai syarat mutlak sebelum bersaing pada 9 Desember mendatang.

Dilansir dari analisadaily.com pada Selalsa, 8 September 2020, pasangan Bobby Nasution-Aulia Rachman telah selesai menjalani ujian tertulis pemeriksaan psikologi di Santika Hotel Medan. Menantu Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu mengaku tidak menemukan kesulitan apapun dalam menjalani tes.

“Tes psikologi biasa, seperti terakhir dulu waktu kuliah S2 (Magister). Banyak ketawa juga tadi, gambar-gambar itu. Kesulitan tidak ada,” kata Bobby. (analisadaily.com/8 September 2020)

Di atas adalah fakta persyaratan untuk menjadi pemimpin ala kapitalis. Sangat mudah dan remeh dalam mensyaratkan seorang pemimpin. Pemimpin ala kapitalis hanya mensyaratkan unggul dari penguasaan sisi psikologi saja. Padahal yang paling penting dari itu adalah visi misi kepemimpinannya. Apakah pemimpin tersebut tunduk pada hukum syara’ dan menjadikan syariat islam sebagai landasannya dalam memimpin ataukah tidak. Sebab visi misi tersebut yang akan menentukan kemashlahatan umat.

Visi misi seorang pemimpin lebih penting dari sekadar penguasaan aspek psikologi karena akan berpengaruh pada landasan yang digunakan untuk membuat kebijakan. Pemimpin yang tidak menjadikan syariat sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahan, mereka akan tunduk pada kepentingan para pengusaha besar (baca: kaum kapitalis/pemilik modal) daripada kepentingan rakyat.

Mereka mengambil landasan selain dari Alquran dan As Sunnah. Maka yang terjadi adalah kegagalan untuk mensejahterakan rakyat. Terjadinya ketimpangan sosial, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, gelandangan, dan angka kriminalitas tinggi.

Rasul SAW bersabda,
مَامِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan dirinya masuk ke dalam surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar ra).

Bergantinya pemimpin daerah, berubahnya kebijakan dengan berubahnya berbagai aturan, semuanya selalu ditunggu rakyat dengan penuh harapan agar sejahtera segera terwujud. Namun apa yang terjadi? Semua hanya mimpi. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan yang tidak berlandaskan syariat islam.

Oleh sebab itu, umat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya ahli dalam penampilan, namun juga isi kepala serta visi-misinya. Seorang pemimpin harus tunduk pada hukum syara’ sebagai hukum yang datang dari Allah ta’ala, memiliki nilai-nilai Ilahiyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Nilai-nilai Ilahiyah tersebut tercermin dari sifatnya yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga hukum Islam adalah hukum yang diciptakan oleh Allah ta’ala sebagai Sang Pencipta manusia itu sendiri.

Sebagai Pencipta manusia, Allah ta’ala pasti mengetahui sesuatu yang baik bagi para ciptaanNya tersebut. Hal ini yang membedakannya dengan hukum-hukum ala kapitalis dan semokrasi yang dibuat oleh manusia. Jika hukum-hukum yang dibuat oleh manusia seringkali adanya amandemen dan revisi, dan gagal mencapai tujuan mensejahterakan rakyatnya, maka hukum-hukum Allah akan tetap abadi dan pastinya bisa membawa rahmat serta kesejahteraan bagi umatNya.

Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah 50).

Maka islam mengatur bagaimana seharusnya pemimpin dipilih. Pemimpin yang hendak diangkat haruslah lulus syarat. Baik syarat in’iqod dan akan lebih baik lagi juga lulus dalam syarat afdhaliyah. Karena yang akan dilaksanakan adalah hukum-hukum Allah.

Di kehidupan yang dinaungi sistem kapitalis seperti hari ini, susah mencari figur pemimpin yang Al Amin dan dapat menjadi panutan . Alhasil tidak ada kata mudah dalam kepemimpinan dalam Islam, karena jiwa takwa akan menjadikan seseorang selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Wallahu a’lambishhowwab. (****)

*Penulis Adalah Aktivis Dakwah Medan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini