Oleh : Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) (*)
Lapan6online.com | ASLINYA Tanpa wabah, APBN, sektor keuangan dan moneter Indonesia menuju kebangkrutan, akibat ketergantungan pada utang, investasi asing dan barang barang impor, disertai tata kelola keuangan yang buruk, ambisi mega proyek, APBN menjadi bancakan, korupsi merajalela dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi lainnya. Aslinya Indonesia menuju kebangrutan akibat dari hal hal di atas.
Pada saat krisis 97/98 masa keadaan ekonomi krisis telah menjadi peluang moral hazard dan penjarahan kekayaan dan keuangan negara oleh segelintir elite. Memang rumus penjarahan dari dulu sama yakni dengan cara ciptakan krisis (AKSI) , ciptakan kepanikan (REAKSI), munculkan skema permpasan kekayaan dan keuangan negara (SOLUSI). contohnya krisis 98 itu tadi. Bangsa Indonesia tak berkutik dijarah oligarki taipan dan asing.
Sekarang ada wabah corona, dan telah dimanfaatkan pemerintah sebagai menjadi peluang besar untuk menetapkan keadaan DARURAT, darurat wabah, darurat bencana, atau darurat lainnya. Pokoknya darurat sebagai alasan membuat hukum darurat. Kalau hukum darurat maka kekuasaan penuh di tangan pemerintah dalam hal anggaran negara, keuangan negara dan kebijakan moneter.
Nah ! Presiden RI telah memberlakukan Perpu No 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona. Perpu ini melibas habis semua UU yang berkaitan dengan fiskal, APBN serta UU bidang moneter dan keuangan. Perpu mensentralisasi kewengan fiskal dan moneter dan keuangan di tangan pemerintah, Menteri Keuangan sangat powerfull. Perpu ini memberi keleluasaan kepada pemerintah dan institusi keuangan dalam membuat kebijakan tanpa bisa dituntut secara hukum, dan hanya bisa dipersoalkan melalaui peradilan Tata Usaha Negara.
Perpu ini berisikan tentang kebijakan kelonggaran fiskal tanpa batas kepada pemerintah dalam mencari anggaran, dan mengalokasikannya suka suka pemerintah. Menabrak UUD tentang kewenagan lembaga negara, dan menabrak berbagai UU keuangan negara, perpajakan, otonomi daerah dll.
Perpu ini memberi kelonggaran tanpa batas untuk mengambil utang dan mengalokasikan anggaran. Perpu memberlakukan defisit angaran di atas 3 % dari PDB untuk menutup kekuarangan APBN Melalui pembiayaan atau Utang. Defisit diatas 3 % ini bisa 10 persen, bisa juga 20 persen, tidak ada batasnya. Selama ini hanya boleh 3 % GDP menurut UU keuangan negara.
Perpu memberi kelonggaran tanpa batas kepada pemerintah mengambil utang. Pemerintah akan menerbitkan obligasi untuk dibeli BI di pasar perdana (mungkin sudah dilakukan). Harganya ditentukan suka suka penerintah karena langsung dibeli BI. Ini jelas BLBI jilid II, melalui skema pembelian obligasi pemerintah di Pasar perdana oleh Bank Indonesia. Artinya harga obligasi pemerintah ditentukan oleh menteri keuangan atau harga suka menteri keuangan dan BI.
Perpu ini akan menjadi dasar hukum untuk memberikan dana talangan kepada bank bank dan lembaga keuangan non bank, asuransi, dll, yang akan kolaps pada 2020-2021 sebagaimana perkiraan banyak analis jauh sebelum corona. Kondisi keuangan nasional yang buruk akibat korupsi dan praktek keuangan yang buruk oleh lembaga lembaga keuangan baik bank, non bank dan asuransi.
Perpu menjadi alasan untuk meloloskan penggunaan anggaran pajak rakyat suka suka menteri keuangan, tanpa pengawasan DPR. Dengan demikian DPR tidak lagi memiliki hak budgeting dan pengawasan. Semua kebijakan alokasi angaran dibebaskan dari audit sebagaimana mestinya dan dibebaskan dari segala gugatan pidana.
Perpu ini bukan menjawab masalah korona atau menjawab masalah kemanusian akibat wabah. Perpu ini merupakan landasan hukum dalam menumpuk utang pemerintah, mengganjal APBN dari kebangkrutan akibat korupsi dan untuk menolong oligarki ekonomi nasioanal yang tengah sekarat akibat praktek keuangan yang kotor yang dilakukan bersama oligarki kekuasan yang korup. (*)