OPINI | POLITIK
“Mereka juga memandang penundaan pemilu 2024 yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang,”
Oleh : Fata Vidari, S.Pd
DITENGAH upaya pemerintah yang belum selesai dalam penanganan Covid- 19 dan belum berhentinya prokontra pemindahan Ibukota Negara (IKN), wacana politik yang cukup mengagetkan publik bergulir. Beberapa waktu lalu partai koalisi pemerintah yaitu PKB, PAN dan GOLKAR menyatakan bahwa partainya menginginkan adanya penundaan pemilu 2024.
Sebelumnya gagasan penundaan pemilu ini diungkapkan oleh menteri investasi Bahlil Lahaladia berdasarkan hasil survey tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi yang mencapai 70% serta harapan kalangan pengusaha akan stabilitas ekonomi yang sempat terpuruk di awal pandemi Covid-19 (bbcnews 1/3/2022).
Gayung bersambut, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ikut mengusulkan pemilu 2024 diundur supaya lebih memberi kepastian pada pelaku usaha yang tahun ini sedang optimistis dan punya kecenderungan positif. Pendapat tersebut juga diaminkan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Menurutnya ada sejumlah alasan mengapa setuju penundaan pemilu diantaranya pandemi Covid-19 yang belum berakhir, pertumbuhan ekonomi yang belum membaik, perkembangan global konflik Ukraina-Rusia, pemilu 2024 yang membutuhkan biaya besar, serta masih banyak program pembangunan yang terhambat selama pandemi (nasional tempo 25/2/2022). Selanjutnya GOLKAR pun melalui Ketua Umumnya menyatakan berada di posisi yang sama dengan PKB dan PAN mendukung penundaan pemilu 2024.
Dilansir dari kompas.com 2/3/2022, Sejumlah partai politik menolak usulan ini diantaranya PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra. Selain parpol, sejumlah lembaga dan pakar hukum tata negara juga menentang gagasan ini karena dianggap mengangkangi Demokrasi.
Dan jika memang bisa dilakukan penundaan hal ini karena ada kondisi darurat seperti bencana alam dan kerusuhan. Sementara dua hal tersebut tidak terpenuhi. Mereka juga memandang penundaan pemilu 2024 yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang.
Bahkan sampai muncul dugaan bukan alasan ekonomi atau membengkaknya anggaran namun akses kekuasaan. Muncul pula kecurigaan publik bahwa upaya ini untuk mengamankan proyek IKN dan Omnibus Law. Maka wajar opini yang berkembang bahwa gagasan penundaan pemilu 2024 ini pertama kali diembuskan dari orang dekat istana, baik elit politik atau pelaku bisnis.
Sarat ambisi dan strategi
Analisa bermunculan dari para pengamat tentang usulan penundaan pemilu 2024 yang didukung oleh sebagian parpol koalisi pemerintah. Diantaranya dari Dosen Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam yang tertulis di laman Republika.co.id 24/2/2022, bahwa usulan ini menunjukkan ambisi kekuasaan dan sarat kalkulasi kepentingan politik. Ambisi para elit politik dan parpol untuk mempertahankan jabatannya sejalan dengan keinginannya mengakomodasi kepentingan para pengusaha (kapital) yang menyokongnya.
Maka sangat mungkin gagasan menunda pemilu ini karena terjadi perselingkuhan kepentingan ekonomi-politik yang menjadi kekuatan oligarki baru yang kuat dalam demokrasi. Hal ini membahayakan karena berarti memfasilitasi otoritarianisme baru yang berkuasa mengubah-ubah konstitusi sesuai kepentingan mereka.
Tidak bisa dipungkiri bahwa spirit dasar ideologi kapitalisme yang mendasari sistem demokrasi adalah sekularisme materialistis. Ketika kapitalisme terwujud dalam negara, karakter utamanya adalah kekuasaan yang mengabdi pada oligarki. Pemerintahan oligarki merupakan segelintir elit dengan dukungan pemodal kuat yang berkuasa menggunakan kendaraan demokrasi.
Inilah yang terjadi saat ini di negeri kita. Beberapa pakar menilai negeri ini benar-bear surganya para oligarki. Dari semua produk UU yang terbit, tampak DPR dan pemerintah benar-benar melayani para oligarki. Korporasi-korporasi besar pun mendukung jalannya pemerintahan oligarki demi mengamankan dan menguntungkan dagangannya. Ambisi parpol untuk berkuasa sejalan dengan ambisi para kapital untuk mengeruk kekayaan.
Disisi lain untuk mewujudkan ambisi tersebut para elit politik tentunya tidak lepas dari strategi agar bisa dipilih lagi oleh rakyat sehingga butuh kalkulasi kepentingan politik. Mengapa ketiga partai koalisi pemerintah tersebut berani mengusulkan wacana penundaan pemilu 2024 yang kemungkinan besar akan ditolak dan mendapat sentimen negatif dari rakyat.
Bukankah justru malah membuat elektabilitas mereka menurun. Tentunya PKB, PAN dan Golkar sudah berhitung akan resiko ini. Ini tidak lepas dari manuver dan strategi politik mereka. Sebaliknya, jika memang benar ada dugaan ‘orang kuat’ dari istana yang melakukan lobi-lobi politik, maka tentu ada kemungkinan proses tersebut terus berjalan sehingga parpol yang sebelumnya menolak penundaan pemilu menjadi berbalik arah. Karena bagaimanapun juga Demokrasi meniscayakan politik kepentingan.
Selain itu pro kontra penundaan pemilu 2024 ini juga bisa menjadi strategi dan menguntungkan partai-partai lain yang menolak menunda pemilu untuk meraih dukungan rakyat. Dengan begitu terlihat komitmen partai terhadap demokrasi dan rakyat akan semakin simpati. Hal ini juga dinyatakan oleh pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin di laman suara.com 28/2/2022, bahwa sikap tegas PDIP yang taat pada konstitusi dengan menolak usulan penundaan pemilu 2024 makin menguntungkan partai berkuasa tersebut karena dinilai akan mengalami kenaikan elektabilitas. Sekali lagi inilah strategi dan kalkualsi politik dalam sistem demokrasi. kesemuanya adalah kepentingan untuk meraih suara rakyat dalam kontestasi.
Kekuasaan, Antara Amanah dan Ambisi
Di bawah sistem sekuler yang mencampakkan aturan agama (syariat Islam), sebagaimana di negeri ini, kekuasaan benar-benar telah menimbulkan fitnah. Banyak orang berlomba-lomba meraih dan atau mempertahankan kekuasaan. Segala cara digunakan. Tanpa peduli halal dan haram. Kekuasaan lebih banyak dijadikan alat untuk kepentingan sendiri dan golongan.
Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat sering diabaikan dan ditinggalkan. Ambisi kekuasaan merupakan bagian dari keinginan hawa nafsu. Memang wajar ambisi itu muncul, namun bukan berarti harus dituruti.
Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu harus ditata dan dikendalikan sesuai petunjuk Allah SWT. Sebab, hawa nafsu itu sering memerintahkan pada keburukan. Rosul SAW bersabda : “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya.” (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, dan Ahmad)
Berdasarkan hadis tersebut, kekuasaan dan jabatan itu jelas merupakan amanah. Amanah kekuasaan atau jabatan itu benar-benar akan menjadi penyesalan dan kerugian di akhirat kelak bagi pemangkunya; kecuali jika dia berlaku adil, mendapatkan kekuasaan dengan benar serta menunaikan kekuasaannya dengan amanah.
Oleh karena itu seharusnya penguasa hari ini bukan hanya fokus bagaimana mempertahankan jabatannya namun harus memperhatikan bagaimana seharusnya memiliki dua sifat sebagai pemimpin yang adil. Yaitu, pertama: Menjalankan hukum-hukum Allah Swt. dalam pelaksanaan ibadah, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat), hukum-hukum politik luar negeri; dan sebagainya.
Kedua: Menunaikan amanah ri’âyah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman.
Alhasil, kekuasaan harus diorientasikan untuk melayani rakyat semata, dan hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariat Islam secara total, memelihara urusan dan kemaslahatan rakyat, menjaga syariat Islam dan melindungi rakyat. Kekuasaan semacam inilah yang harus diwujudkan oleh kaum Muslim semuanya. Dengan itu kekuasaan akan menjadi kebaikan dan mendatangkan keberkahan bagi semua. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. (*)
*Penulis Adalah Pendidik dan Aktivis Peduli Generasi Banyuwangi, Jawa Timur