Watak Demokrasi, Penghina Islam Dibiarkan Lolos Tanpa Sanksi?

0
15
Suci Ramadani/Foto : Istimewa

OPINI | POLITIK

“K.H. Muhammad Cholil Nafis yang merasa tersinggung oleh ulah pegiat media sosial itu. Beliau berharap agar kasus Eko Kuntadhi tak hanya usai pada permintaan maaf saja melainkan harus diproses secara hukum juga,”

Oleh : Suci Ramadani

KASUS penistaan Islam kembali terjadi. Dalam cuitan akun twitter eko Kuntadhi tampak mengolok ceramah yang dibawakan salah seorang Ustadzah yang dikenal dengan sapaan Ning Imaz.

Cuitan Eko Kuntadhi terdiri dari potongan video ceramah yang disertai ungkapan kalimat kotor dan bernada kasar.

Sontak hal inipun ramai direspon oleh warganet yang mendesak agar unggahan Eko Kuntadhi diproses secara hukum Kasus yang satu ini, bukan kali pertama ia melakukan penghinaan terhadap Islam, namun berulang kali terjadi.

Beliau tercatat sudah beberapa kali menyakiti perasaan umat Islam, namun tak kunjung diproses hukum. Tebukti dari rekam jejaknya yang pernah mengolok Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Abdul Somad dan beberapa tokoh lain.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat menganalisis kasus tersebut.

Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, menilai bahwa cuitan Eko Kuntadhi sebenarnya berpotensi pelanggaran sejumlah pasal dalam kasus itu. Chandra menjelaskan Eko Kuntadhi terindikasi dan berpotensi melecehkan tafsir ayat Alquran sehingga Eko dianggap sama saja melecehkan Alquran.

Sebab pandangan Ning Imaz terkait Tafsil Q,S Ali Imran ayat 14 ini sejalan dengan pandangan para mufasir, salah satunya, Imam Ibnu Katsir. “Dan dengan demikian dapat dinilai melakukan tindakan penodaan agama,” kata Chandra, dalam keterangannya, Sabtu (17/9/8/2022).

Selain itu, Chandra juga menyatakan tindakan Eko Kuntadhi tergolong menghina dan merendahkan kredibilitas Ning Imaz yang memiliki kafa’ah (otoritas) untuk menjelaskan tafsir Alquran berdasarkan keilmuan yang dimiliki.dan dapat dijerat pasal pencemaran dengan UU ITE. (republika.co.id, 17/9/8/2022).

Hal senada juga turut dilayangkan salah satu tokoh Nahdatul Ulama, K.H. Muhammad Cholil Nafis yang merasa tersinggung oleh ulah pegiat media sosial itu. Beliau berharap agar kasus Eko Kuntadhi tak hanya usai pada permintaan maaf saja melainkan harus diproses secara hukum juga.

“Ketika saya membaca itu darah saya mendidih, jengkel dan jengkel saya. Minta maaf itu tidak selesai, harus ada tindak lanjut hukum,” ujar Ketua MUI Bidang Dakwah itu, seperti yang dikutip dari kanal Youtube tvOneNews, Sabtu malam (17/9/2022). (solopos.com, 18/9/2022).

Dari kasus ini dapat semakin kita simpulkan bahwa sistem demokrasi-sekuler akan terus menerus menghasilkan banyak penista yang mengolok-olok ajaran agama.

Sistem Sekuler akan terus menghasilkan para cendekiawan yang jauh dari nilai-nilai agama karena asasnya pemisahan agama dalam kehidupan. Penista agama di sistem ini tak akan berhenti untuk mengolok karena ketiadaan sanksi dan hukum yang tegas yang seharusnya menjerat pelakunya.

Dari banyaknya kasus serupa, menjadikan publik turut menilai bahwa aparat dinilai sangat aktif dan sigap, apabila terjadi kasus pelanggaran UU ITE dan ujaran kebencian yang pelakunya dari kalangan masyarakat yang kontra terhadap pemerintah.

Namun, apabila kasus pelanggaran dan ujaran kebencian dilakukan oleh kalangan yang pro terhadap pemerintah, aparat amat pasif dan terkesan lamban dalam memproses para pelaku. Publik dipaksa menyaksikan ketidakadilan nyata yang terjadi dalam prosesi hukum hari ini.

Tak hanya itu, dari banyaknya kasus serupa, penguasa tampak diam dan acuh saat para pendukungnya menista agama mayoritas negeri ini. Seolah penguasa hari ini berada di balik para pendukung itu.

Misal saja dalam satu kasus pelaku penistaan ditangkap dan dipenjarakan, namun pada kasus lain pelakunya dibiarkan bebas hanya dengan permintaan maaf belaka. Pantas saja jika masyarakat hari ini enggan percaya pada pengusa dan pejabat pemerintahan karena mereka sendiri yang menciptakan celah ketidakpercayaan tersebut.

Memang benar, mencari keadilan dalam sistem sekuler hari ini bak menunggu munculnya Pelangi setelah hujan reda. Hukum seolah menjepit kalangan bawah namun melegakan kalangan atas. Hukum terasa runcing dan membunuh yang berada dibawah namun yang di atas tetap tenang bergelimang harta. Hukum tak lagi tegas dan memberi efek jera bagi pelakunya. Patutlah jika di kemudian hari kita akan menyaksikan kasus yang sama terjadi kembali.

Hal sebaliknya akan kita temui pada mulianya sistem islam dalam mengatur kehidupan bernegara. Islam tak akan membiarkan pelaku penistaan agama melenggang bebas setelah melakukan aksinya. Islam terbukti tegas dalam menyelesaikan persoalan ini.

Tebukti Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yanga amat tegas dalam menindak para penista. Beliau memberi hukuman mati kepada pelaku penistaan. Ia pernah berkata “Barangsiapa yang mencerca agama dan salah satu nabi maka bunuhlah ia.” (Diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah bersumber dari Mujahid rahimahullah)

Dari kisah di atas barulah kita temui bagaimana seharusnya sikap pemimpin muslim kala islam dinista dan dicerca. Pemimpin harus sigap bergerak dan ikut andil dalam penerapan sanksi yang akan diterima si pelaku, bukan malah diam, acuh seolah membiarkan penistaan terjadi.

Begitulah yang dirasa ketika Islam tak hanya dijadikan sebagai ritual dan ibadah belaka, Namun islam dijadikan way of life, karena islam telah sempurna mencakup segala aspek kehidupan. Segala tindak pidana dan kemaksiatan telah tertuang jelas sanksinya dalam Islam.

Pemimpin umat seperti inilah yang telah lama kita idamkan, pemimpin yang meri’ayah (malayani) umat dengan baik, menjadi junnah (pelindung) dan memastikan hukum Allah selaku Syara’ tegak di muka bumi serta kehormatan islam akan kembali terjaga sepanjang zaman. (*)

*Penulis Adalah Mahasiswa Prodi Sastra Arab USU