PROFILE | NUSANTARA | SEHAT
“Kulit itu keluar seperti karet begitu. Jadi misalnya kita bikin adonan dari tepung itu kalau kita renggangkan adonan tepung itu itu kelihatan seperti ada guratan-guratan gitu kan di adonan it. Nah kulit saya sebelum di vonis vonis lupus itu seperti itu,”
Lapan6Online | Jakarta : Apakah yang terlintas dalam benak kita saat menerima vonis jika jatah usia kita tinggal tiga bulan? Kaget, syok sudah pasti. Lalu apakah harus pasrah begitu saja setelah menerima vonis yang seakan meluluh lantakkan semuanya?
Yuliana Permata ternyata berhasil membuktikan bahwa dirinya bisa bangkit setelah menerima vonis yang menyakitkan karena Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang tubuhnya sejak dirinya masih berseragam biru putih.
“Saya dinyatakan sebagai odapus (pengidap penyakit lupus) pada tahun 1998, tepatnya pada saat saya kelas 3 SMP, “tuturnya pada Radarindonesianews.com (Media Group Jaringan Lapan6online.com), pada Kamis (15/9/2022).
Ia menjelaskan semenjak masih duduk di bangku SD sering pingsan dan mimisan. “Semenjak SD itu saya sering pingsan dan mimisan, berlanjut sampai SMP. Tiba-tiba pas kelas 3 saya langsung panas, rambut saya tiba-tiba rontok, sendi sakit, mau jalan sakit, mau duduk sakit, tangan, lutut, dan kaki saya bengkak gitu ya, kalau misalnya orang awam itu melihatnya seperti penyakit rematik,“ paparnya.
Yulia sapaan akrabnya ternyata juga mengalami ruam di bagian wajah serta penglihatannya kabur.
“Muka saya ruam-ruam gitu di daerah muka terutama pipi merah seperti kupu-kupu. Tapi Alhamdulillah tidak gatal. Mata juga kaya kabur gitu, jadi kurang jelas penglihatan,” bebernya.
Ia menambahkan selain muncul ruam, rambut rontok, penglihatan kabur, kondisi kulitnya juga seperti karet.
“Kulit itu keluar seperti karet begitu. Jadi misalnya kita bikin adonan dari tepung itu kalau kita renggangkan adonan tepung itu itu kelihatan seperti ada guratan-guratan gitu kan di adonan it. Nah kulit saya sebelum di vonis vonis lupus itu seperti itu,” ungkapnya.
Ia mengisahkan berkeliling mencari rumah sakit di wilayah Jakarta, menemui beberapa dokter dan mendapatkan vonis yang berbeda-beda.
“Vonisnya berbeda-beda. Ada yang DBD, liver, lambung akut, typus terus rematik, asam urat pokoknya berbagai macam penyakit di diagnosanya, “ imbuhnya.
Yulia kemudian ditangani sepasang dokter yang merupakan suami istri, menjalani observasi selama tiga bulan.
“Pada waktu itu saya dibawa ke salah satu rumah sakit Jakarta lalu ada ada sepasang dokter, suami istri yang penasaran dengan penyakit saya ini. Kenapa di kasih obat bukannya turun panasnya tetapi malah tambah panas gitu, terus jalannya susah, seperti setengah lumpuh gitu ya. Jadi saya itu untuk berdiri, berjalan, harus dibantu. Tubuh saya menjadi kurus banget, jadi kaya tulang saja, rambut juga sudah semakin tipis, sudah kaya botak saja gitu ya. Terus jadi sering mimisan,” ujarnya.
Setelah observasi selama tiga bulan selama di rumah sakit, hasilnya menyatakan positif lupus.
“Tahun 1998 itu diputuskan saya kena penyakit lupus, lalu divonis hidup tinggal tiga bulan lagi gitu ya. Bayangkan saja kalau saya masih kelas 3 SMP lalu di vonis saya hanya hidup sekitar tiga bulan lagi itu kayaknya hancur banger gitu ya” jelasnya.
Yulia ternyata berhasil bangkit meskipun akhirnya anfal lagi pada tahun 2001. “Beberapa tahun kemudian saya bisa bangkit, bisa pulih lalu anfal lagi tahun 2001. Saya di bawa ke satu rumah sakit di Jakarta itu ketemu dengan salah satu professor. Saya diperkenalkan dengan ketua yayasan lupus, kak Tiara di sana mereka menjelaskan supaya lupus tidak bangun itu kita harus selalu berpikiran positif, sehat, menyemangati diri kita sendiri, kita tidak boleh menyalahkan siapapun. Apa yang di beri hari ini kita jalani dengan ikhlas sabar, dan bersyukur seperti itu, “ terangnya.
Ia memaparkan support keluarga memiliki peranan besar supaya odapus bisa bangkit.
” Sebenarnya kekuatan pasien itu terletak pada kekuatan pendamping pasien. Mengapa? Karena jika pendamping pasien lemah gampang putus asa, gampang terpuruk tentu saja si pasien akan lebih terpuruk lagi karena kekuatan mereka selain dari Allah tentu kekuarga keluarga atau kekuarga pendamping yang selama ini selalu berada di sisinya,” tegasnya.
Ia berpesan kepada para odapus diamanapun berada supaya tetap semangat dan optimis.
“Pesan untuk teman-teman jangan putus asa. Hidup matimu hanya Alah yang tahu, dokter hanya membantu kita untuk berikhtiar, untuk sehat karena sekali lagi keputusan tetap ada di tangan Alah. Buktinya saya di vonis sisa hidup saya tinggal tiga bulan saat SMP, ternyata Allhamdulillah sampai sekarang masih di kasih umur oleh Allah, dipercaya oleh Allah untuk tetap menghirup udara di dunia ini. Saya juga pernah di vonis tak punya anak dan Alhamdulillah kun fa yakun Allah mempercayai saya, memberikan saya tiga anak yang Alhamdulillah sampai sekarang sehat, normal, saleh, salehah, dan berprestasi. In syaa Allah sukses dunia dan akhiratnya, aamiin ya Allah.” Pungkasnya.
Yuliana Permata saat ini aktif sebagai penulis, desain cover, layouter, videographer dan desain. Dengan keyakinan yang tinggi bahwa vonis odapus adalah salah satu tanda cinta dari Allah supaya bisa merasakan kebesarannya, Yulia berhasil bangkit dan terus berjuang meraih mimpi-mimpinya. [*Sri Purwanti/GF/RIN/Red]