“Perda-perda berbasis kearifan lokal wilayah setempat adalah, upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik,”
Ambon/Maluku, Lapan6Online : Sedikitnya 106 Peraturan Daerah (Perda) se-Provinsi Maluku dianggap bermasalah, karena tidak mengandung kearifan lokal di dalamnya. Hal ini terungkap saat Komisi A DPRD Provinsi Maluku melakukan kunjungan kerja ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkum HAM) Maluku, pada Senin (26/8/2019).
Rombongan Komisi A DPRD Provinsi Maluku ini diterima langsung Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Maluku, Andi Nurka, beserta seluruh Kepala Divisi.
“Kami (Kemenkumham), khususnya wilayah kerja Wilayah Maluku masih mencari sumber masalahya dimana. Setiap pembuatan perda oleh Pemerintah Daerah (Pemda), tidak mencantumkan tentang kearifan lokal kabupaten/kota setempat ataupun terkait Hak Asasi Manusia (HAM),” kata M.J Mataheru, Kepala Divisi (Kadiv) Pelayanan Hukum (Yankum) Kanwil Kemenkumham Maluku.
106 Perda se-Provinsi Maluku itu,menjadi bagian dari 4.000 Perda di seluruh Indonesia yang juga bermasalah. Menurutnya, kearifan sangat penting demi mengakomodir budaya masyarakat di daerah setempat.
“Judul silahkan, boleh sama. Tetapi kearifan lokal budaya setempat itu harus diperhatikan.Kenapa kearifan lokal itu sangat penting? Sebab, perda dibuat itu manfaat untuk masyarakat. Lalu bagaimana kalau tidak ada manfaatnya buat masyarakat, kearifan lokalnya tidak ada?” tanya Mataheru.
Menyikapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Maluku, Constansius Kolatfeka mengapresiasi usulan tersebut. Dia menilai, perda-perda berbasis kearifan lokal wilayah setempat adalah, upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik.
“Ini adalah upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik, dalam rangka pelayanan publik di Maluku. Olehnya itu, Komisi A memberikan apresiasi sungguh kepada Kementerian Hukum dan Ham Wilayah Maluku, dalam rangka menawarkan gagasan, ide-ide, menawarkan program-program kerja yang bagi saya, sangat maksimal dalam rangka membangun pelayanan publik di Maluku,” katanya.
Menurutnya, ada sejumlah alasan kenapa kurang lebih 100 lebih peraturan daerah di Maluku ditolak oleh kementerian. Yang pertama, konsultasi-konsultasi pasal, soal anggaran dan lain-lain, tetapi juga soal kearifan lokal dan hak asasi manusia, tidak memberikan satu bentuk intisari dalam muatan perda. Padahal, hal ini sangat penting sekali, bagaimana melindungi hak asasi manusia bagi setiap warga negara yang ada.
“Kedua, bagaimana pembanguan sebuah wilayah dalam bentuk regulasi, harus menjunjung tinggi kearifan lokal. Untuk itu, bagaimana kita mendorong sinergisitas, koordinasi kemitraan dengan Kementerian Hukum dan Ham ke depan, itu sangat strategis dalam rangka menggolkan perda-perda kita. Kalau ini selalu kita pakai pihak lain, kemudian kurang atau tidak memaksimalkan koordinasi dengan pihak kemenkumham, itu juga salah,” tegas Kolatfeka.
Padahal, Menurut Kolatfeka, dalam konsultasi perda di kementerian itu, bukan saja Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga dengan Kemenkumham. “Untuk itu, sebelum jauh ditelaah di pusat, maka enaknya kita sudah sama-sama dengan Kementerian Hukum dan Ham di sini. Ini sebenarnya substansinya,” tandas dia. IM/Red/TN
*Sumber : teropongnews.com