“Dan yang sebenarnya dibutuhkan rakyat adalah kebutuhan bertahan hidup dan asupan gizi yang memadai dalam situasi pandemi dan bagaimana setelah pandemi ada lapangan pekerjaan yang tersedia,”
Jakarta | Lapan6Online : Situasi pandemi saat ini, mengkondisikan buruh-buruh perempuan tidak bisa merayakan Mayday seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak bisa berteriak dengan lantang di jalan-jalan dan pusat pemerintahan untuk memprotes kebijakan negara. Demikian dikatakan Jumisih, Wakil ketua umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), melalui rilis, pada Kamis (30/4/2020).
Ancaman buruh dirumahkan tanpa upah dan tidak mendapat THR muncul dalam situasi ini, karena pengusaha berargumentasi merugi karena covid. Padahal para pengusaha sudah menumpuk-numpuk keuntungan puluhan tahun. Sementara pemerintah telah banyak memberikan intensif ke para pengusaha. Kenapa perlindungan ke buruh nyaris tidak ada?
Kondisi Mayday tahun ini menjadi bertambah kelam karena rentetan PHK massal terjadi di berbagai kota. Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, Jawa Timur dll.
Hal ini lanjut Jumisih, berdampak terputusnya mata rantai pencaharian ekonomi buruh dan keluarganya. Apalagi jika korban PHK massal adalah buruh perempuan yang menjadi pencari nafkah utama.
Menurutnya, PHK ini akan berdampak kerentanan kepada buruh perempuan yang meliputi :
1). Buruh perempuan akan rentan menjadi korban KDRT. Hal ini dipicu karena tekanan ekonomi keluarga yang merosot drastis sehingga memicu perselisihan di keluarga.
2). Kerentanan Asupan Gizi Keluarga. Hal ini dipicu karena sumber pendapatan berkurang.
2). Stress yang meningkat. Buruh korban PHK yang memilih tinggal di dalam rumah sementara tidak ada pendapatan juga memicu adanya perselisihan di keluarga karena ketidak setaraan dalam melaksanakan beban kerja domestik dengan pasangan yang selama ini oleh masyarakat di pandang sebagai beban kerja perempuan. Apalagi tugas mendampingi anak sekolah online juga dilakukan oleh sang ibu.
Sementara itu, kartu pra kerja bukan solusi untuk mengurangi beban masalah buruh dan keluarga. Kenapa?
Karena menururtnya, Kartu pra kerja justru lebih banyak menjadi agen aliran dana untuk para perusahaan penyedia training yang sebetulnya training-training itu bisa didapat dari youtube. Kartu Pra kerja bukan pengganti pesangon.
“Dan yang sebenarnya dibutuhkan rakyat adalah kebutuhan bertahan hidup dan asupan gizi yang memadai dalam situasi pandemi dan bagaimana setelah pandemi ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Ada 73,29% buruh di Jabotabeka dan Jateng yang merasa mengalami kerentanan dalam pekerjaannya. Sementara distribusi sembako yang di distribusikan pemerintah malah tidak sampai ke tangan buruh dengan alasan administrasi. Sungguh miris.” Ujarnya.
Menurut Jumisih, ada bahaya dan ancaman Omnibuslaw Cipta kerja yang menghantui keberlanjutan hidup buruh perempuan di masa depan, karena hak-hak buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil melahirkan atau gugur kandungan akan sangat mungkin hilang karena tidak ada perlindungannya dalam Omnibuslaw Cipta kerja.
Korban buruh yang positif terpapar covid atau meninggal akibat covid juga terus bertambah. Sampai saat ini, misalnya terjadi di PT CCH Bandung, PT Sampoerna Rungkut Jawa Timur, PT Kahatek Sumedang, PT PEMI Tangerang. Di sisi lain pemerintah tidak menindak tegas pengusaha yang masih terus mempekerjakan buruh industri padat karya dalam situasi pandemi. Bukankah ini perlakuan tidak adil dan diskriminasi?
Setidaknya ada 67,81% buruh di Jabotabeka dan Jawa Tengah masih dikondisikan bekerja dalam situasi pandemi dengan APD alakadarnya.
Oleh karena itu, kami dari Federasi Buruh Lintas Pabrik – FBLP menuntut kepada pemerintah untuk:
1).Batalkan pembahasan Omnibuslaw Cipta kerja, bukan penundaan klaster ketenagakerjaan.
2). Fokus tangani pandemi, kami inginkan kondisi segera normal kembali.
3). Stop PHK Terhadap buruh Perempuan.
4). Stop buruh yang dirumahkan tanpa perlindungan upah.
5). Penuhi hak-hak buruh perempuan
6). Distribusikan sumber bahan pangan bagi seluruh rakyat dan buruh tanpa diskriminasi. GF/RIN/Lapan6 Group