“Kemerdekaan Pers sarana masyarakat memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walau, berada di luar sistem politik formal, Pers sebagai pilar keempat yang merupakan corong masyarakat, bukan corong golongan tertentu,”
Oleh : Nicko S.B
Lapan6Online : Kebebasan dan/atau Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dalam mewujudkan kemerdekaan Pers, Wartawan (Jurnalis) Indonesia menyadari kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma agama, norma adat istiadat dan norma hukum.
Kehadiran Pers di tengah alam demokrasi yang saat ini sangat dibutuhkan. Pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi UUD’45.
Kemerdekaan Pers sarana masyarakat memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walau, berada di luar sistem politik formal, Pers sebagai pilar keempat yang merupakan corong masyarakat, bukan corong golongan tertentu.
Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan demokrasi dan supermasi hukum, tentunya memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan dan publik. Selain itu, sekaligus menjadi alat kontrol sosial atau sosial kontrol.
Kebebasan Pers menjadi salah satu tolak ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia.
Pers di Indonesia merupakan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan dan bukan lembaga atau institusi swasta apalagi pemerintah. Maka itulah, Wartawan/Pers bukanlah corong pemerintah, kelompok, golongan.
Sementara Pers diera reformasi terus mendapat tekanan. Para pelaku pekerja Pers (jurnalis) dijerat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 tentang perubahan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan undang-undang karet di era digital.
UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ini telah menjerat banyak korban setelah adanya revisi dalam kurun tiga tahun lalu.
Dari sejumlah 245 laporan, terdapat sejumlah nama Pimpinan/Wartawan, Jurnalis dari berbagai media di Indonesia. Pelapor merasa nama baiknya dirugikan akibat pemberitaan Wartawan (media Pers)
Pelapor tidak menggunakan hak jawabnya sebagaimana Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode etik jurnalistik, yakni memberikan data dan fakta sebagai bantahannya.
Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers. Hal itu disebutkan dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2. Salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus berhubungan dengan pemberitaan Pers.
Seharusnya hal itu yang harus dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Pihak pelapor yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan harus memberikan data atau fakta dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan tidak benar.
Dalam peraturan Dewan Pers tentang Kode etik jurnalistik yang telah diperbaharui, menyatakan bahwa wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa dan bukan melaporkan ke polisi. Selain itu, pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers.
Hal tersebut diatas disebutkan dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 15 ayat 2. Sebab fungsi utama Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan Pers.
Tugas pokok Wartawan, mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang diyakini merupakan kepentingan umum secara akurat dan tepat waktu. Ditambah, Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), para pelapor dan penegak hukum di negeri ini telah mengabaikan Pasal 50 KUHP, yang berbunyi barangsiapa menjalankan amanat undang-undang tak dapat dipidana.
Wartawan menjalankan tugas sebagaimana ketentuan pada undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), diantaranya melayani hak koreksi untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hak koreksi digunakan saat seseorang atau sekelompok orang merasa terdapat kekeliruan informasi menyangkut dirinya atau orang lain dalam pemberitaan media, baik media cetak, media elektronik, atau pun media siber.
Peraturan tentang hak koreksi ini termuat dalam pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11, dan pasal 15 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain telah diatur dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, hak koreksi juga merupakan bagian dari kode etik jurnalistik yang mesti dipatuhi semua wartawan dan perusahaan media.
Merujuk pasal 5, sebuah Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Berdasarkan hal itu pula, Pers/Wartawan wajib melayani hak koreksi dan hak jawab secara proporsional.
Hak koreksi memiliki fungsi kontrol sosial masyarakat, dimana setiap orang dijamin haknya oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media dan Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara dengan adanya hak jawab dan hak koreksi. Hak koreksi menjadi tugas dan peran pers nasional dalam memenuhi hak masyarakat terkait pemberitaan media. Diantaranya mencakup tentang hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap perihal menyangkut kepentingan umum (publik) baik lokal, nasional mupun internasional.
Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan Pers adalah dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan hak jawab dan hak koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan Pers.
Sesuai tupoksinya, tugas pokok Pers menurut undang-undang nomor 40 tahun 1999 memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal berkaitan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran. (****)
*Catatan
Menurut monitoring jaringan sukarela pembela kebebasan berekspresi dan hak di digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ada sebanyak 245 laporan kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di tanah air Indonesia sejak 2008. SAFEnet juga mencatat hampir setengah kasus undang-undang karet di era digital menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Peluang terlepas dari jeratan Undang-Undang ITE sangat minim bila kasusnya sudah masuk proses pengadilan.